”Mohon maaf bukan lancang, bukan sok jagoan. Pasti gua bantai satu keluarga, satu per satu gua bantai.”
Dilanjut: ”Tapi gua juga punya adat yah, siapa yang rusak duluan berarti itu yang kalah.”
Polisi lantas berubah sikap, memburu tersangka. Akhirnya tersangka ditangkap.
Kepala Seksi Humas Polres Tangerang Selatan Ipda Galih Dwi Nuryanto kepada pers, Selasa, 18 Juli, mengatakan, pihaknya memutuskan menangkap Budyanto karena tak kooperatif dalam proses penyelidikan.
Galih: ”Tersangka juga mengancam korban dan keluarga korban.”
Hal baru, hasil visum (setelah hampir sepekan) barulah keluar.
Galih: ”Dalam keterangan surat visum oleh ahli kedokteran RS tersebut (RS Hermina Serpong) bahwa terhadap luka-luka korban dalam kategori yang menimbulkan penyakit, atau halangan dalam melakukan aktivitas pekerjaan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari.”
Maksudnya, korban Tiara luka berat. Berdasar Pasal 90 KUHP tentang kriteria luka berat, dalam poin kedua, disebutkan: Korban tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan mata pencaharian.
Padahal, sepekan sebelumnya polisi menetapkan korban luka ringan. Maka, Budyanto dikenai Pasal 44 ayat 4 UU PKDRT atau KDRT ringan. Dengan adanya perubahan hasil visum itu, berarti Budyanto kini dikenai Pasal 44 ayat 2 UU PKDRT atau KDRT berat.
Kalau KDRT berat, atau ayat 2, ancaman hukuman maksimal sepuluh tahun. Sangat jauh berbeda dengan KDRT ringan yang maksimal empat bulan penjara.
Apakah wajah Tiara yang bonyok itu bisa masuk kriteria nomor dua Pasal 90 KUHP? Ini lebih unik lagi.
Kriteria nomor dua, Pasal 90 KUHP: ”Korban tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan mata pencaharian.”
Wajah bonyok bisa saja ditafsirkan bahwa korban tidak mampu bekerja. Bisa ditafsirkan begitu. Bisa ditafsirkan, korban malu pada khalayak. Karena bonyok.
Namun, di pasal tersebut ada kata ”terus-menerus”. Bisa ditafsirkan permanen. Atau selamanya. Sedangkan, bonyok Tiara akan hilang paling lama dalam sebulan. Pastinya, itu membingungkan publik.
Betapa pun di kasus ini ada dua kemungkinan.
Pertama, jargon no viral no justice terbukti terjadi. Setelah kasusnya viral, barulah penyidik bertindak sesuai keadilan.