Padahal, jika sistem administrasi rumah sakit standar, tidak mungkin bayi lahir tertukar ortu. Di negara-negara maju, sistem administrasi soal itu sudah diatur sejak 1960-an atau lebih dari 60 tahun lalu.
Joseph Bolivar De Lee dalam bukunya yang berjudul Obstetrics for Nurses, London and Philadelphia (1966) menyebutkan cara rumah sakit bersalin menghindari bayi tertukar ortu. Dipaparkan secara terperinci.
Pihak rumah sakit wajib mengambil sidik jari tangan dan tapak kaki begitu bayi baru saja keluar dari rahim ibunda. Perawat juga wajib memeriksa ulang ibu si bayi, memeriksa identitas ibu dan ayah bayi, untuk mencegah tertukar.
Rumah sakit wajib menetapkan nomor rekam medis untuk bayi saat lahir dan mencantumkan nomor itu serta nama belakang ibu bayi, jenis kelamin bayi, serta tanggal dan waktu lahir. Bayi ditempatkan pada ibu segera setelah ibu melahirkan, sebelum ibu dan anak dipisahkan.
Jadi, intinya, semua dilakukan sebelum bayi dan ibu dipisahkan untuk dirawat di kamar berbeda. Sedangkan yang terjadi di banyak rumah sakit kita, bayi diberi gelang kaki bertulisan nama ibu setelah bayi dibawa ke ruang bayi atau terpisah dari ibu.
Uniknya, sedemikian tradisional cara rumah sakit kita menangani persalinan, bayi tertukar di Indonesia baru terjadi dua kali dalam kurun 38 tahun terakhir. Tapi, bisa saja selama ini ada bayi lain yang tertukar dan ortu mereka tidak tahu. Sehingga tidak perlu uji DNA.
Atau, mungkin ada juga ortu yang tahu bayi tertukar, tapi membiarkannya. Toh, sama-sama anak manusia. (*)