Setiap kota pasti punya sejarah. Di Kota Surabaya, warisan-warisan sejarah disulap menjadi magnet wisatawan. Salah satu yang terbesar ada di Jalan Tunjungan.
SAMIRI Perera dan Simone Pijl menyusuri jalan setapak di Taman Prestasi menuju barat. Begitu punggung mereka terlihat mengecil, saya pun melanjutkan perjalanan. Rasa haus menyergap lagi. Pilihan yang tepat untuk singgah sebentar di Sentra Wisata Kuliner (SWK) Taman Prestasi. Sekadar melepas dahaga dan lelah. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Ada dua destinasi paling dekat dari situ: Museum Pendidikan dan Jalan Tunjungan. Aksesnya paling cepat bisa dengan naik Wirawiri Suroboyo berkode FD007 rute Terminal Bratang-Stasiun Pasar Turi. Harga tiketnya cuma Rp 5 ribu dan hanya bisa dibayar dengan uang digital. Setelah itu tinggal menunggu di titik henti Taman Prestasi. Lalu turun di Museum Pendidikan, Jalan Gentengkali. BACA JUGA : Geliat Surabaya Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17 (3) : Susur Kalimas dengan Sejoli Jerman Tak perlu membayar tiket feeder lagi kalau mau ke Jalan Tunjungan. Asal tak sampai dua jam dari pembayaran tiket pertama. Tetapi, saya lebih memilih jalan kaki. Jaraknya cuma 700 meter. Bisa ditempuh sekitar 10 menit. Sayang, setelah selesai Taman Prestasi, nihil jalur pedestrian hingga ujung Jembatan Mustajab. Pejalan kaki harus lebih hati-hati, apalagi kalau mau menyeberang. Sebab, kendaraan yang meluncur di tikungan itu cukup lesat. Sore itu, Museum Pendidikan pun lengang. Hanya ada Alma Erinda dan Silviana Anggraeni sebagai pengunjung. Keduanya warga Sidotopo yang sudah kali kedua berkunjung ke museum. "Suka aja ke sini. Suasananya asri. Biasanya nongkrong di halaman belakang," kata Alma. Ya, museum itu memang gandeng dengan Taman Ekspresi. Biasanya mereka duduk di bawah rindang pohon sambil memandangi aliran Kalimas. Jika siang hari, taman itu ramai pengunjung. Menjadi tempat berteduh dari ingar-bingar jantung kota.MUSEUM PENDIDIKAN dengan koleksi komplet untuk pendidikan dan rekreasi.-Sahirol Layeli-Harian Disway- Museum Pendidikan memang cukup luas. Memamerkan 800 buah koleksi benda bersejarah. Setidaknya, terbagi dalam tujuh zona waktu. Mulai zaman prasejarah, kolonial, hingga era kemerdekaan Indonesia. Alma dan Silvi pun masih terkesima oleh ratusan benda-benda itu. Sesekali mereka pun berswafoto dengan latar koleksi museum. "Nggak, belum tahu. Tapi, katanya sih dulu bekas Taman Siswa," katanya saat ditanya soal sejarah gedung Museum Pendidikan. Gedung museum yang putih megah itu memang memikat dari kejauhan. Terutama bila dilihat dari Jembatan Ngemplak. Letaknya persis di bantaran Kalimas. Bagian depan gedung itu dipenuhi pintu kaca. Di bagian atas temboknya bertulisan bahasa Belanda: Villa Rivierzicht. Bila diartikan: Villa dengan pemandangan sungai. Tulisan itu dilengkapi dengan kap lampu berbentuk lonceng. BACA JUGA : Geliat Surabaya Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17 (2) : Nikmati Atmosfer Seni di Alun-Alun Surabaya Bangunan itu memang cukup tua. Diperkirakan berdiri jauh sebelum masa kemerdekaan, yakni sekitar 1925-1930. Awalnya adalah aset milik seorang Tionghoa di Surabaya. Pada akhirnya, bangunan itu diserahkan ke Pemerintah Kota Surabaya oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Provinsi Jawa Timur pada 2019 silam. Tri Rismaharini sebagai Wali Kota Surabaya saat itu pun langsung menyulapnya menjadi museum. Peresmiannya pada 25 November 2019 bertepatan dengan Hari Guru. Gedung itu punya sejarah yang kuat dengan dunia pendidikan di Indonesia. Sebab, pernah difungsikan sebagai sekolah Taman Siswa. Setelah cukup puas, saya melanjutkan perjalanan ke barat. Masih jalan kaki. Menyusuri Jalan Genteng Kali ke Jalan Tunjungan. Jaraknya pun cuma 500 meter. Dengan jalan kaki sebetulnya bisa lebih asyik. Karena bisa menikmati suasana kota lebih dekat. Anda pun akan melewati Gedung Cak Durasim. Sebelum akhirnya tiba di Siola, tepat di salah satu ujung Jalan Tunjungan. Siola juga menjadi saksi bisu perjuangan arek-arek Suroboyo. Gedung yang kini dicat merah itu melintasi berbagai zaman. Dari tempat perniagaan lantas menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan.
REVITALISASI yang membuat Jalan Tunjungan jadi asyik untuk tempat mlaku-mlaku.-Sahirol Layeli-Harian Disway- Siola adalah titik awal destinasi Jalan Tunjungan yang membentang dari utara ke selatan. Inilah ikon Kota Surabaya. Dulu bernama Petoenjoengan, koridor penghubung antara Kota Lama (Kota Indisch-1870/1900) dan Kota Baru (Kota Gemeente-1905/1940). Pada era itu, fungsinya tetap sama. Yakni sebagai pusat perbelanjaan. Yang kemudian disulap menjadi Tunjungan Romansa oleh Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pada Desember 2021. Wajah Jalan Tunjungan pun benar-benar berubah. Lebih tertata dan artistik. Tetapi tanpa meninggalkan warisan sejarah. Tak heran, Tunjungan makin menjadi tempat favorit muda-mudi. Sore itu pun, saya melihat perlahan anak-anak muda berdatangan. Memenuhi kursi-kursi di jalur pedestrian. Selain bangunan lawas yang dibiarkan otentik, suasana heritage juga diperkuat oleh nuansa lainnya. Yang paling mencolok ialah musik yang terputar di tempat penyeberangan. Begitu tombol penyeberangan dipencet, lagu Semanggi Suroboyo bergema. Suasana lawas pun makin terasa. Para muda-mudi pun tak sekadar kongko. Melainkan juga ingin menyaksikan bukti-bukti sejarah. "Baru sekarang sempat ke sini," ujar Arizkylia Yoka. Warga Candi, Sidoarjo, itu tertarik setelah menonton video viral di TikTok. Yakni unggahan tentang peringatan peristiwa perobekan bendera di Oranje Hotel (kini Hotel Majapahit). Padahal, Yoka tiap hari wira-wiri Sidoarjo-Surabaya. Dia sedang menempuh pendidikan S-2 di Universitas Negeri Surabaya. Dulu, sama sekali tak tertarik datang ke Tunjungan. "Tadi langsung ngantar ke Majapahit dulu. Baru jalan-jalan," kata Canareta Putri, kawan Yoka, warga Dukuh Kupang. Mereka, tentu saja, menyempatkan foto di Hotel Majapahit. Juga di depan tulisan Mlaku-Mlaku Tunjungan. BACA JUGA : Geliat Surabaya Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17 (1): Momentum Kebangkitan Wisata Heritage Hari pun sudah petang. Temaram lampu di sepanjang Jalan Tunjungan menyala. Orang-orang datang berduyun-duyun. Juga terlihat makin banyak turis asing keluar-masuk Hotel Majapahit. Warisan sejarah lokal itulah aset terbesar Kota Surabaya. Mampu menarik para pengunjung. Tentu, untuk makin menghidupkan kembali masa silam. (Mohamad Nur Khotib)