"Sabar sedikit ya, mas. Kurang lebih 15 menit," kata Leswin Nastiti Indah Palupi, waiters, sembari menggiling kopi di dalam alat yang berbentuk wadah kaca, dengan tuas penggiling yang diputar.
Kami memesan kopi dan minuman cokelat. Lalu kentang dan tahu goreng. Karyawan pria bertubuh gemuk dengan topi, datang mengantarkan makanan dan minuman itu. Tak berbicara sepatah kata pun. Hanya tersenyum lalu menggumam, sembari mengacungkan dua jempol.
Oleh-oleh dari Eksotika Bromo (13-habis). Kafe Shelter Bromo menyajikan view perbukitan lereng Gunung Bromo yang menawan.-julian romadhon-
BACA JUGA:Ruwat Rawat Segara Gunung, Tema Eksotika Bromo 2023
Setelah berbincang dengan karyawan lainnya, kami baru mengetahui bahwa karyawan pengantar makanan tadi adalah tunarungu. Rupanya Shelter Kopi Bromo memberdayakan seorang difabel. Kerjanya sangat baik. Bahkan ia selalu datang lebih pagi ketimbang karyawan lain.
"Namanya Syahroni. Sudah dua tahun ia bekerja di sini. Kami juga belajar bahasa isyarat darinya," kata Mochammad Dicco Firmansyah, barista Shelter Kopi Bromo. "Paling sederhana, ketika ada pesanan dalam jumlah tertentu, tinggal menunjukkan jari tangan saja," tambahnya.
Sayangnya, Syahroni enggan difoto. Ia selalu menghindar jika ada kamera. "Dari dulu memang begitu. Ia anti-kamera. Tidak suka dipotret," kata Dicco, lantas tertawa. Setelah asyik mengelilingi kafe berkonsep outdoor sekaligus indoor itu, kami berbincang sembari menghabiskan makanan.
Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan. Langsung menuju tol arah Surabaya.
BACA JUGA:Legenda Atau Ilmiah? Begini Proses terbentuknya Lautan Pasir Bromo
Pemandangan Semeru dan Bromo tersaji. Di depan kami, Arjuna dan Penanggungan mulai tampak. Saat menyetir, tiba-tiba Dhona mengalami micro sleep. Mobil sejenak oleng ke kiri. Untung saja ia cepat sadar.
Oleh-oleh dari Eksotika Bromo (13-habis). Pemandangan dari lantai 2, kafe Shelter Bromo.-julian romadhon-
Saat itu hari telah senja. Seperti halnya budaya Tengger dan budaya Jawa pada umumnya, senja disebut sandikala. Saat-saat paling peka, ketika keseimbangan ekosistem alam bergoyang karena peralihan siang ke malam. Saat berlangsungnya perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi.
Dalam kedua budaya tersebut, konon saat senja Bathara Kala turun ke dunia untuk mencari mangsa. Maka saat itu lebih baik beristirahat sejenak. Masuk ke rumah atau menepi. seperti kami yang singgah di rest area.
Daripada nekad melaju saat senja dalam kondisi tak menentu, hanya akan menjadikan diri sebagai umpan Sang Waktu. (*)