Capres-Cawapres Membincang Kedaulatan Pangan

Rabu 08-11-2023,16:32 WIB
Oleh: Ikhsan Rosyid Mujahidul A.*

Selama berabad-abad, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan hasil pertanian, menarik pedagang dari seluruh dunia. Sejarah perdagangan itu telah memengaruhi budaya makanan Indonesia, dengan pengaruh asing yang menciptakan masakan yang kaya dan beragam.

Namun, datangnya kekuasaan Eropa melalui VOC dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda mengganggu kearifan lokal di Indonesia. Kebijakan kedaulatan pangan selama masa kolonial Indonesia sangat dipengaruhi agenda pemerintah kolonial Belanda. Penanaman bahan pangan diganggu dengan penanaman wajib (cultuurstelsel) maupun monopoli penanaman lainnya.

Kebijakan itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan Belanda sehingga produksi pangan di Indonesia disesuaikan dengan permintaan pasar kolonial. Beberapa kebijakan yang diterapkan selama masa kolonial mencakup: Sistem tanam paksa yang mewajibkan penduduk bumiputra menanam tanaman komersial (kopi, nila, tebu, indigo). 

Pemerintah kolonial Belanda mempromosikan tanaman ekspor seperti kopi, teh, karet, dan kakao yang mendominasi lahan subur sehingga mengurangi lahan untuk pertanian lokal.

Kebijakan pertanian monokultur, yaitu menanam satu jenis tanaman dalam skala besar, berdampak negatif pada kedaulatan pangan karena kurangnya keanekaragaman tanaman lokal.

Ditambah berbagai peraturan yang menghambat pemilik tanah pribumi dalam mengelola tanah mereka, banyak lahan pertanian yang telantar atau digunakan untuk tanaman ekspor.

Pemerintah kolonial mengendalikan perdagangan pangan lokal, mengatur harga dan distribusi untuk keuntungan ekspor. Beberapa praktik pertanian tradisional masyarakat pribumi dilarang, menciptakan kesenjangan dengan pertanian modern yang didorong Belanda.

Dampaknya adalah kesulitan masyarakat pribumi dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sebab, kebijakan kolonial lebih berfokus pada kepentingan pemerintah kolonial dan ekspor. Efek kebijakan kolonial itu masih terasa dalam sejarah pertanian dan kebijakan pangan hingga saat ini.

Tantangan lainnya adalah urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan populasi yang tinggi. Urbanisasi mengakibatkan lahan pertanian berkurang karena dikonversi menjadi permukiman atau industri. Di  sisi lain, pertumbuhan populasi berarti ada lebih banyak orang yang harus diberi makan. 

Kurangnya akses ke pendidikan (riset) pertanian dan kelautan serta teknologi modern menjadi kendala lainnya. Banyak petani dan nelayan di Indonesia yang masih menggunakan metode tradisional yang kurang efisien dan rentan terhadap perubahan iklim. 

Teknologi pertanian modern, seperti penggunaan pupuk yang tepat dan metode irigasi yang efisien, dapat meningkatkan hasil pertanian.

Pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim juga dapat membantu mengurangi risiko kekurangan pangan. Begitu pula dengan teknologi kelautan yang dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan.

Inovasi dalam produksi pangan berupa pertanian vertikal, hidroponik, dan penggunaan lahan yang cerdas adalah contoh-contoh inovasi dalam meningkatkan produktivitas pertanian. 

Pemberdayaan petani dan nelayan juga menjadi kunci dalam mencapai ketahanan pangan. Dengan memberikan akses ke pendidikan dan pelatihan, petani dan nelayan dapat meningkatkan pengetahuan tentang praktik-praktik terbaik dalam pertanian dan kelautan modern. 

Masa depan ketahanan pangan di Indonesia dan di seluruh dunia akan bergantung pada upaya bersama mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pertanian dan kelautan. Visi dan misi semua pasangan capres-cawapres secara eksplisit memunculkan kebijakan terkait pangan. 

Kebijakan yang berpihak kepada pertanian dan kelautan menjadi kunci penting pengembangan ketahanan pangan. 

Kategori :