Medio tahun 1921 di sebuah desa wilayah selatan Kota Bandung, hidup seorang petani dengan istri dan empat orang anaknya. Suatu pagi, bergegaslah ia menuju sawah. Perlahan menapaki pematang dengan cangkul di pundaknya. Sesampainya di sawah, tanpa ragu cangkul diayunkan menghujam tanah.
Terus-menerus dilakukan dengan harapan tanah menjadi gembur dan subur. Sesekali peluh dan keringat ia usap sembari menengadah dan menghela nafas. Di sela aktivitas itu, datang pemuda gagah (saat itu masih berusia 20 tahun) menghampiri dengan mengayuh sepeda.
Pemuda tersebut terpanggil melihat kegigihan petani yang giat mengolah lahannya. Tak lama kemudian sang pemuda bertanya.
“Siapakah pemilik tanah yang engkau kerjakan ini,” tanya sang pemuda.
“Saya, Tuan,” Jawab Petani
“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama dengan orang lain?
“Tentu tidak. Saya memilikinya sendiri. Lahan ini turun temurun diwariskan orang tua kepada anak-anaknya”
“Bagaimana dengan cangkul yang engkau pegang?”
“Ini juga milik saya sendiri”
“Dengan tanah yang tidak begitu luas seperti ini, apakah cukup hasilnya untuk menghidupi keluargamu?”
“Hanya untuk makan sehari-hari saja, Tuan. Tidak ada yang bisa dijual atas kelebihan hasil yang saya usahakan,” pungkasnya.
Pemuda itu tertegun sembari berucap dalam hati sungguh malang nasib petani ini. Memiliki lahan sawah sendiri, alat pertanian (cangkul) sendiri, mengerjakan lahannya sendiri, namun yang dapatkan tidak seberapa. Percakapan itu berakhir.
Sebelum undur diri pemuda tersebut tak lupa bertanya siapakah nama petani tersebut.
“Marhaen” jawab petani dengan lirih.
Sejak saat itu, sang pemuda mendapatkan inspirasi mengistilahkan setiap orang di Indonesia yang bernasib sama laiknya petani tersebut dengan nama Marhaen. Sungguh tak dinyana, sekian waktu berlalu dengan kegigihan dan Ikhtiar keras pemuda tersebut menjadi Bapak Proklamator yang sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno.