Roy Suryo awalnya protes KPU. Ia menuduh Gibran diberi fasilitas tiga mik di debat cawapres. Lalu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, ”Roy tukang fitnah.” Dibalas, Roy siap memolisikan Hasyim. Eee… Kini Roy dipolisikan LSM soal itu juga.
HAL sepele macam inilah yang mewarnai jelang Pemilu 14 Februari 2024. Tensi ketegangan sosial turun drastis jika dibandingkan dengan jelang Pemilu 2019. Tentu kondisi adem inilah yang diharapkan masyarakat.
Padahal, kualitas peristiwa pemilu kali ini lebih berat daripada yang lalu. Puncak peristiwa di putusan Mahkamah Konstitusi yang menguntungkan Gibran Rakabuming Raka. Soal itu cuma heboh sebentar. Lalu surut. Diakhiri dimunculkan istilah ”politik dinasti”. Istilah yang debatable.
BACA JUGA: Soal 3 Mic Gibran di Debat Pilpres, Gede Pasek: Roy Suryo Jangan Jadi Residivis
Sebab, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga berusaha keras mengorbitkan Puan Maharani. Kalau didebat, bahwa Megawati yang putri Presiden I RI Ir Soekarno itu sudah tidak menjabat presiden lagi saat mengorbitkan Puan, Jokowi juga sudah tidak menjabat presiden lagi saat Gibran (misalnya) menang nanti. Kecuali, sekonyong-konyong Jokowi mengangkat Gibran jadi wapres, langsung.
Pun, ortu mengorbit anak, manusiawi. Juga hewani. Semua hewan mengajari anak mencari makan. Apalagi hewan predator macan, si raja hutan.
Dikutip dari National Geographic, 28 Juli 2023, berjudul: Young Cubs Following the Mother’s Footsteps, tergambarkan indahnya kehidupan macan di habitatnya. Induk macan mengajari anak-anaknya berburu. Syuting film itu di Ranthambore National Park di Rajasthan, India. Induk ”mengorbitkan” anak-anaknya dengan cara melatih mereka berburu. Semua makhluk dikodratkan begitu.
BACA JUGA: Roy Suryo Jalani Sidang Perdana Kasus Meme Presiden Jokowi
Dalam persaingan politik, para politikus petarung membayar tim ahli untuk mencari kelemahan lawan. Tim ahli menemukan, lalu menciptakan jargon, dijadikan negative campaign. Politikus juga membayar beberapa buzzer, menyebarkan jargon itu. Jargon ”dimasak-digoreng” tim ahli, lantas ”dipasarkan” buzzer. Supaya masif. Tujuan akhir: Suara (vote).
Akibatnya, masyarakat yang tidak dibayar ikut terseret isu persaingan politik antarpolitikus yang sejatinya cuma mencari duit dan kekuasaan. Setelah pemilu selesai dan presiden terpilih, ya… sepi lagi. Kehidupan normal lagi. Tukang ojek tetap ngojek, tukang batu tetap mbatu.
Tidak ada perubahan, misalnya, tetiba semua orang jadi kaya. Atau, semua penganggur mendadak dapat kerja. Atau, rakyat diberi makan siang gratis, rutin tiap hari, selama lima tahun. Seperti suatu sulapan.
Jadi, soal isu politik jelang pemilu ini, ada dua kelompok yang terlibat. Kelompok pertama, tim ahli dan tim buzzer. Aktif berkarya. Bisa disebut kelompok pemain. Kedua, masyarakat yang terbius isu politik, tapi tidak dibayar. Disebut kelompok penggembira. Bagian sorak hore. Tapi, berpotensi berkelahi antarmassa.
Dua kelompok itu ”bertarung” demi politikus yang membayar. Politikus berani bayar karena nantinya (kalau menang) bakal dapat duit yang jauh lebih banyak daripada yang sudah dibayarkan. Mereka sedang gambling politik. Gambling keras.
Isu politik itulah terkait kasus Roy Suryo. Ia, melalui akun X miliknya, mengunggah begini: