Demikian pula selama di penjara. Bagi yang hobi main golf, masuk penjara tentu sangat menderita karena hobi tak tersalurkan. Demikian pula kalau punya banyak ketergantungan pergi ke tempat tempat hiburan seperti pub, café, diskotik, theatre, kuliner, dll, penjara menjadi sangat membosankan dan derita.
Tapi bagi saya yang suka merenung dan menulis, keterbatasan di penjara tak banyak pengaruhnya. Kecuali luapan rindu pada rumah dan keluarga. Saya merasakan kebenaran surat Baqarah ayat 218 Yang artinya “Boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula engkau menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.”
Prison is just another trip
Pengorbanan Istri
Dwi Haryana, pengacara saya pernah bilang kalau kita ditahan, paling 1-2 hari akan merasa sedih selanjutnya akan enjoy. Justru yang berat adalah istri di rumah. Pernyataan pengacara ini saya rasakan kebenarannya. Setelah saya pikir dan juga saya tanyakan kepada istri apa yang dia alami dan rasakan memang sangat berat pengorbanannya.
Bayangkan dia harus berperan sebagai ibu dan ayah karena juga harus mencari tambahan pendapatan. Dia harus menghadapi orang orang yang curious. Ditambah lagi harus melayani kebutuhan saya seperti fotocopy materi untuk persidangan, mencarikan buku atau bahan tulisan, mencarikan makanan kesukaan saya yang cukup menyita waktu dan tenaga di samping wajib menjenguk saya secara rutin.
Dia juga harus menyembunyikan perasaan atau kesedihannya agar saya bisa tenang menghadapi proses pengadilan dll. Dan karena berbagai pertimbangan kondisi saya ini masih kami rahasiakan pada anak kedua dan anak bungsu saya, diapun harus selalu bersandiwara pada keduanya. Semua itu harus dihadapinya sendirian sehingga terasa semakin berat.
Kakak saya secara tidak sengaja pernah melihat tahi lalat di punggung istri saya dan mengatakan bahwa ini pertanda akan menghadapi beban hidup yang berat. Mungkin peristiwa ini adalah bukti nya dan memang sudah tertulis dalam Lauh Mahfuz. Wallahualam.
Istri saya bersyukur karena sejak kecil sudah terbiasa dengan kondisi getir dan serba kekurangan. Karena orang tua tidak mampu dan ayah yang sakit-sakitan, dia pernah dititipkan pada family yang lebih mampu. Ia merasakan bahwa berpisah dengan orang yang disayangi adalah sebuah derita.
Namun trauma itu tidak melunturkan rasa sayangnya terhadap kedua orang tuanya. Ia pernah berniat tidak melanjutkan sekolah demi bisa mengurus ayahnya. Kini ia kembali harus berpisah dengan orang yang dicintainya dalam kondisi prihatin yang lain.
Bukan terkait kesulitan ekonomi, akan tetapi terkait sanksi sosial yang luar biasa. Pengalaman masa kecil itu membuatnya optimis bahwa kesulitan itu akan bisa dijalani dengan selamat dan bermuara pada kondisi yang membahagiakan.
Perpaduan antara keelokan fisiknya dan kesederhanaan hidupnya adalah sebuah kontras yang unik. Seorang teman masa kecilnya baru baru ini menyatakan secara tulus. “Di sekolah kau bak princess, cantik dan anggun. Tapi waktu aku melihat kondisimu di rumah sederhanamu, aku melihatmu dengan seonggok cucian seperti upik abu (pembantu dalam logat Pagar Alam),” katanya.
Hal ini membuat pandangannya berubah dari kagum dibalut sungkan menjadi salut berbalut akrab. Ternyata si princess bukan anak gedongan, melainkan an ordinary girl. Bahkan untuk menggaji pembantu saja tidak mampu. Mungkin seperti dongeng-dongeng Walt Disney yang banyak mengisahkan gadis jelita yang penuh derita dan perjuangan seperti Snow White atau Cinderella.
Ketika mendengar saya ditahan pertama kali, ingatannya kembali pada masa kecilnya yang traumatis saat menyaksikan ayahnya diancam dengan sebilah pisau karena urusan bisnis. Awalnya sang ayah adalah pedagang kopi yang sukses, namun ditipu oleh rekan bisnisnya yang melarikan beberapa truk kopi dagangan dan menyebabkan ayahnya mendapat ancaman dari pemilik kopi dan mengalami kebangkrutan yang berujung pada menurunnya kesehatan.
Namun istri saya juga merasakan bahwa ditahannya saya justru menjadikan situasi batin yang lebih tenang. Karena dia tidak lagi melihat saya menderita karena hujatan hujatan yang keji itu. Hal yang secara bersamaan juga saya rasakan. Sepertinya hujatan hujatan itu mengendor karena kegusaran itu sudah terbayarkan dengan jeruji penjara.
Saat di rutan saya menimbang nimbang nasib saya … Am I a loser?