Kampung Bundaran Taman Pelangi, Setengah Abad Terjepit Kebisingan (1): Sejak Lahir Biasa Bising

Sabtu 06-01-2024,16:20 WIB
Reporter : Mohamad Nur Khotib
Editor : Doan Widhiandono

Taman Pelangi adalah salah satu ikon Kota Surabaya. Tetapi, tak semua tahu ada detak kehidupan warga satu kampung di bundaran taman itu. Tahun ini, Pemkot Surabaya bakal membebaskan lahan mereka untuk pembangunan underpass.


BERADA di Taman Pelangi rasanya seperti sedang tapa ngrame. Alias bermeditasi di tengah keramaian. Itulah gambaran warga Jalan Jemur Gayungan II RT 01 RW 03 atau Kampung Bundaran Pelangi.

Mungkin kampung itu adalah kampung terkecil di Kota Pahlawan. Cuma dihuni oleh satu RT dengan 35 KK. Panjang gang tak sampai 100 meter. 

Semua orang tentu sepakat bahwa bundaran Taman Pelangi menjadi titik paling menyebalkan bagi para pengendara. Sebab, di situlah langganan terjadi penumpukan kendaraan. Hampir sepanjang hari di jam-jam sibuk.

Selalu butuh kesabaran ekstra melewatinya. Juga kerap memaksa untuk pura-pura tuli. Karena tak sedikit pengendara yang membunyikan klakson. Sahut-sahutan seperti sedang di tengah pawai.

Sudah ratusan kali saya melintasinya. Tetapi, baru siang kemarin berkunjung ke kampung mungil itu. Nuansa kampung terasa jauh berbeda dari ramainya jalan raya. 
 
BACA JUGA : Gagas Flyover untuk Hapus Kemacetan Bundaran Dolog

Kampung Bundaran Pelangi begitu asri. Suasananya relatif tenang. Tak seperti kebanyakan kampung-kampung padat penduduk di Surabaya.

Rata-rata ukuran rumah warga sama. Sederhana. Lebarnya sekitar 4-5 meter. Meski ada beberapa yang sampai 8 meter. Ada enam rumah yang dibangun lantai dua dengan kayu.

Karut-marut kendaraan sudah menjadi bagian dari suka duka kehidupan mereka. Salah satunya, Nunuk Janardana, yang merupakan warga asli. “Saya lahir di sini. Jadi sudah biasa dengan suara bising setiap hari,” kata Nunuk saat ditemui di rumahnya, Kamis, 4 Januari 2024.

Begitu pula dengan para tetangga. Sejak kecil sudah tinggal di situ. Hampir semua warga mewarisi rumah dari orang tua maupun kakek-nenek mereka.

Tak jarang sanak famili dari luar kota berkunjung. Mereka inilah yang kerap terganggu dengan bising kendaraan. Apalagi jika menginap, selalu kesulitan saat hendak tidur.

Namun, Nunuk punya keluhan sendiri. Seperti warga yang lain. “Kami selalu kesusahan saat mau menyeberang. Apalagi kalau pagi mau ngantar anak berangkat sekolah,” ujar perempuan kelahiran 1984 itu.
 

Kampung Bundaran Taman Pelangi yang terjepit di tengah-tengah Jalan Ahmad Yani.-Sahirol Layeli-Harian Disway-

Sebetulnya, anak bungsu Nunuk yang masih duduk di bangku SD ingin dibelikan sepeda. Tetapi, Nunuk selalu menolak. Dia takut lantaran jalanan begitu ramai. 

Warga setempat seolah punya aturan tak tertulis. Dari orang tua untuk anak-anak. Tak boleh berkendara sendiri sebelum lulus SMP.

Tak hanya itu. Tinggal di Kampung Bundaran Pelangi memang seolah terisolasi. Akses ke fasilitas umum cukup sulit.

Terutama untuk belanja bahan masakan sehari-hari. Warga kerap mengandalkan kedatangan tukang sayur. Itu pun tak selalu ada setiap hari.

“Tukang sayurnya nggak datang, kita ya nggak bisa belanja,” tutur Nunuk. Lokasi pasar juga cukup jauh. Mau keluar malas. Tentu karena langsung menghadapi kemacetan begitu sampai di mulut gang. 

Kesulitan-kesulitan yang dialami Nunuk juga dirasakan semua warga Kampung Bundaran Taman Pelangi. Termasuk Sumiyati yang menempati rumah kedua di ujung gang sisi barat. Dia pun mewarisi rumah dari kedua orang tua.

“Sulit mau nyeberang. Dari dulu katanya mau dikasih tempat penyeberangan, tapi nggak ada juga sampai saya tua,” terang perempuan kelahiran 1964 itu saat dijumpai di teras rumah.

Rumah Sumiyati terlihat paling kuno. Ornamen didominasi kayu. Desain rumah pun juga lawas. Tetapi, termasuk paling luas di antara rumah yang lain.
 
BACA JUGA : Kini Aloha, Kapan Bundaran Waru dan Dolog?

Sumiyati juga masih ingat. Dulu, kampung itu terhubung hingga ke barat–kini Jalan Jemur Gayungan I. Pemerintah lantas membebaskan lahan sekitar 15 rumah tetangga Sumiyati di sebelah barat.

“Itu kalau nggak salah tahun 1973. Saya masih kecil. Presidennya masih Pak Harto,” tandas Sumiyati. Sejak itulah terbentuk bundaran. Sejak itu pula kampung tersebut terpisah. Berarti Sumiyati dan warga setempat tinggal di sana sudah 50 tahun.

Kini, warga menanti pembebasan lahan. Pemkot Surabaya menjanjikan tahun ini. Survei lahan pun sudah dilakukan dua kali.

“Akan dibangun underpass untuk mengatasi kemacetan di situ,” ujar Kepala Bidang Pengadaan Tanah dan Penyelenggaraan Prasarana Sarana Utilitas Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Surabaya Farhan Sanjaya, Kamis, 4 Januari 2024.

 

Tercatat sementara ada 22 persil yang akan dibebaskan. Pemkot menyediakan anggaran sebesar Rp 81 miliar. Dari APBN sebesar Rp 200 miliar untuk pembangunan. (Mohamad Nur Khotib)
Kategori :