Perampok ulung itu, Kandata tengah terbenam di dalam genangan darah, tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam seperti seekor kodok sekarat.
Namun, saatnya telah tiba. Hari ini Kandata mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah. Dia melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan yang menjulur ke arahnya dari arah surga yang tinggi.
Melihat itu Kandata bertepuk kegirangan untuk merangkak. Jika semuanya berjalan lancar dia bisa mencapai surga. Itu berarti dia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah. Adapun soal memanjat jaring itu bagi mantan perampok ulung bukanlah hal yang asing baginya.
Kandata telah memanjatnya dan Kolam Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum sependar samar-samar di bawahnya. Kandata berteriak nyaring kegirangan setelah bertahun-tahun terpuruk di dasar neraka. “Berhasil”, teriaknya.
Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang ke bawah jaring itu dan melihatnya para pendosa lain ternyata ikut berduyun-duyun memanjat penuh semangat menggapai jejaknya, naik dan terus naik bagaikan upacara para semut. Saat itulah Kandata terbelalak dengan mulut ternganga.
Bagaimana mungkin jaring laba-laba yang tipis ini dapat menahan sebanyak itu, sementara untuk menahan beban tubuhnya sendiri saja nyaris putus. Jika jaring itu sampai putus, dia akan jatuh kembali ke dasar neraka setelah berhasil mencapai titik pengharapan.
Kini ratusan bahkan ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam Darah dan memanjat sekuat tenaga. Kandata pun menghardik dengan suara lantang: “hai, kalian para pendosa, jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberimu izin naik mengikutiku? Turun! Turun!”.
Tepat pada saat itulah, seutas jaring tipis itu, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, tiba-tiba putus tepat di titik Kandata tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, dia meluncur deras ke arah kegelapan, terus melayang, berputar dan berputar.
BACA JUGA: Renungan Harlah Ke-101 NU: Meneguhkan Gerakan Ekologis NU
Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring laba-laba surga itu saja yang tampak bergoyang berkilat-kilat, bergantung di langit tak berawan. Ya … sambil berdiri di tepi Kolam Teratai di surga, sang Buddha menatap dari dekat semua kejadian tadi. Saat itu hari beranjak telah menjelang siang di surga.
Cerita yang menawan dan memberikan pesan betapa egoisme itu pada akhirnya tetaplah menyengsarakan, walaupun pernah membersitkan kebaikan dan rona penyelamatan. Merampas uang rakyat merupakan laku tak elok dan menjerembabkan pribadi siapa saja.
Memang, seperti yang ditulis Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi dalam bukunya Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia, Dari Daendels (1808-1811) Sampai Era Reformasi: Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air.
Bagi saya, kita semua harus mampu memungkasi kondisi yang amat memperhinakan bangsa ini. Jauhi korupsi. (*)
Oleh Suparto Wijoyo: Guru Besar Fakultas Hukum dan Pengajar Strategic Leadership Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga