Korupsi dan Kisah Kandata

Rabu 31-01-2024,00:12 WIB
Reporter : Suparto Wijoyo
Editor : Heti Palestina Yunani

OPINI berjudul Korupsi Semanis Madu Beracun, yang terbit di Harian Disway, 29 Januari 2024, mendapatkan respons beragam pihak. Tugas saya hanya membuncahkan pendar untuk penerang jalannya peradaban akademik yang turut terusik atas realitas koruptif. Terhadap kasus korupsi pemberitaannya selalu menyentak. 

Sebagaimana diwartakan bahwa KPK melakukan OTT terhadap sepuluh orang di Pemda Sidoarjo. Kejadiannya setarikan napas menambah memori publik atas peristiwa korupsi di berbagai daerah. Terdapat fenomena  pelaku korupsi memanggungkan diri dalam jabatan birokrasi melalui skema demokrasi. 

Kini khalayak ramai menagih agar pemilu menjadi instrumen demokrasi hadirnya kepemimpinan yang memiliki legitimasi dengan membawa nilai-nilai good governance.

BACA JUGA: Pinjaman Online Pendidikan

Pemilu adalah ajang seleksi memilih pemimpin  antirasuah. Betapa penting penyelenggaraan pemilu yang menolak politik uang. Jabatan hasi pemilu bukanlah sarana merebut harta “rampasan perang” secara demokratis.

Pemilu dalam tataran paling nyata adalah sarana membangun kepemimpinan yang mengusung alasan-alasan atas nama suara terbanyak. Pada intinya setiap pemilu acapkali bermuatan “kemenangan tiranik” yang diberi atribut demokratik.
Sang Buddha berdiri di tepi Kolam Teratai. Melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air, mata beliau tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. --

Inilah demokrasi yang mengantarkan aristokrasi baru yang berkencenderungan darah biru yang disemai. Situasi demikian ini membuka ruang argumentasi filosofis mengenai makna sebuah pemilu dalam kerangka demokrasi yang melahirkan tirani birokrasi. 

Anehnya, demokrasi sendiri rela dikebiri oleh “keluarga dalam”  yang  memegang kendali pemerintahan. Inilah demokrasi yang tertikam tirani atau tirani yang berkamuflase demokrasi untuk tidak mengatakan wujud paling nyata dari kemunafikan berdemokrasi.

Inilah babak kehancuran peradaban sebuah kaum yang hidup sangat pandai memberikan dalil-dalil mengabsahkan nyolong yang dihalalkan. Pemaknaan ini mengingatkan saya pada cerpen The Spider’s Thread (1961) yang ditulis Ryunosuke Akutagawa (1892-1927). 

Dia adalah pengarang terkemuka Jepang dan namanya diabadikan sebagai penghargaan sastra paling bergengsi di negaranya. Cerpen Jaring Laba-laba telah menjadi bagian dari Sehimpun Cerpen Terbaik Dunia Sepanjang Masa yang dikompilasi oleh kurator Anton Kurnia (2016). 

Ceritanya penuh debar dan pelajaran. Saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak sang Buddha berdiri di tepi Kolam Teratai, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air, tiba-tiba terpampang sebuah pemandangan. 

Matanya tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah banyak berbuat kejahatan; membunuh, membakar rumah, dan hanya memiliki satu kebaikan. 

Suatu kali saat dia berjalan di tengah hutan belantara, dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat kakinya bermaksud hendak menginjaknya, tapi tiba-tiba ia berpikir: ah tidak, tidak. Sekecil inipun dia mempunyai nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan. Dia pun membiarkan laba-laba itu tetap hidup.

BACA JUGA:Politik Bakso Mbelingnya Jokowi

Ketika memandang ke neraka, sang Buddha teringat bagaimana Kandata telah menyelamatkan seekor laba-laba. Sang Buddha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba, dan dijatuhkannya benang itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga teratai yang berwarna seputih mutiara.

Kategori :