Mengoreksi Pesta Demokrasi agar Tak Menyakiti Bumi

Selasa 13-02-2024,02:04 WIB
Oleh: Suparto Wijoyo

Derita makin memuncak dirasakan karena bencana tersebut juga mengakibatkan 9.617 rumah rusak. 

Perinciannya, 53 rumah rusak berat, 119 rusak sedang, dan 9.445 rusak ringan. Juga, 7 fasilitas umum rusak akibat seluruh bencana tersebut, terdiri atas 4 fasilitas peribadatan dan 3 fasilitas pendidikan.

BACA JUGA: Seni Politik Hospitalitas: Berdemokrasi Tanpa Kegaduhan dan Kebencian

Angka-angka itu bukanlah sekadar hitungan statistikal, melainkan genta suara yang menggedor kesadaran agar negara tidak abai pada kepentingan lingkungan. 

Rupiah yang dikalkulasi sejatinya mendeskripsikan hadirnya tragedi ekologi betapa besar ongkos yang harus dibayar akibat kegagalan publik menjaga kelestarian ibu pertiwi.  

Rentetan bencana pada 2024 merupakan produk dari kebijakan lingkungan yang telah lama dipancangkan. Apa yang telah khalayak ramai perbuat terhadap hutan, pekarangan, sawah-ladang, serta sungai ataupun lautan yang membentang? 

BACA JUGA: Kiai dan Akademisi dalam Pengawalan Pilpres 2024

Kita semua perlu becermin diri tentang lemahnya pengawasan atas alih fungsi lahan yang berlangsung TSM (terstruktur, sistematis, masif). 

Negara tidak elok mentradisikan pemahaman bahwa bencana adalah takdir dan siklus tahunan. Penguasa pusat dan daerah dilarang mengantrekan penduduk  mengundi derita mengenyam nestapa. 

Kalaulah tahun 2024 ini nanti tetap menyajikan banyak bencan alam, adakah Pemilu 2024 ini bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan?

Bertahun-tahun kawasan lindung dipaksa melakukan bunuh diri ekologi (ecological suicide). Hutan desa dan perkebunan digerus berlahan, tapi pasti untuk diubah menjadi area pergudangan, membentangkan karpet merah kepada industri tanpa konservasi. 

BACA JUGA: Capres Bervisi Memberantas Korupsi

Penjungkirbalikan pemanfaatan ruang yang tengah dipertontonkan dengan vulgar harus dihentikan. Mengubah hutan menjadi ”kebun tebu” adalah pilihan yang membahayakan masa depan.

Sadari bahwa mengatasi banjir dan tanah longsor pastilah dengan merawat hutan yang berupa tegakan pohon, bukan  ranting-ranting vegetasi. Kebijakan perhutanan sosial harus menghadirkan penjaga-penjaga hutan, bukan penjarah-penjarah hutan. 

Laku sidakep pengawe-awe (main mata dengan perambah hutan) mutlak dipungkasi. Konversi lahan hutan menjadi ”ladang jahe” yang berlangsung aksesif dan cenderung melegalkan deforestasi saatnya dikoreksi. Bunuh diri ekologi itu acap kali dipelihara dengan menggadaikan kepentingan lingkungan.  

BACA JUGA: Pasar Politik dan Pemilu Damai

Kategori :