DEWASA ini sering dan marak terjadi praktik-praktik pembunuhan karakter di masyarakat dan beberapa lini organisasi, baik organisasi profit maupun nonprofit.
Umumnya hal tersebut dilakukan dengan memanipulasi sebuah fakta kebenaran, pernyataan dusta, dan melemparkan tuduhan melanggar norma agama, hukum, maupun sosial tendensius tanpa melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi terlebih dahulu.
Pembunuhan karakter dilakukan melalui beberapa cara dengan membuka, bahkan membeberkan, hal-hal negatif sehingga reputasi seseorang menjadi rusak, karier terhambat, dipecat dari jabatan, sampai dengan dikucilkan di tengah-tengah masyarakat.
BACA JUGA: Wisuda Sarjana ke-27 Stikosa AWS, Peluang Besar dan Tantangan Sarjana Komunikasi di Era Digital
Di dalam pandangan agama, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konsep harga diri yang hukumnya adalah haram dan perbuatan dosa. Sebab, perbuatan tersebut tidak lepas dari perbuatan dusta, gibah, fitnah dan membuka rahasia orang lain.
Terkait dengan hal tersebut di atas, media massa yang sering kali sengaja atau tidak sengaja, secara langsung maupun tidak langsung, terlibat di dalamnya. Hal itu seharusnya menjadi perhatian yang serius dalam media meskipun hanya pihak ketiga, menyiarkan berita terkait dengan pembunuhan karakter karena akan memiliki potensi yang sangat luas dampaknya.
Itu merupakan bentuk cara baru dalam melampiaskan syahwat angkara murka yang dianggap aman dari sanksi hukuman yang sampai saat ini belum disentuh secara tegas oleh hukum.
BACA JUGA: Pentingnya Social Media Specialist di Era Digital
PEMBUNUHAN KARAKTER
Di zaman digital makin banyak bermunculan pembunuh karakter bayaran yang siap membunuh karakter siapa pun yang ingin dibunuh karakternya oleh siapa pun yang mau dan mampu membayar tarif jasa sang pembunuh karakter profesional melalui medsos. Pasalnya, di era teknologi saat ini hal tersebut telah dilakukan secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).
Di Indonesia secara hukum sebenarnya perbuatan tersebut dapat dijerat oleh undang-undang hukum pidana dengan beberapa pasal seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita palsu, sampai dengan tercipta undang-undang IT. Namun, hal tersebut belum ditangani secara serius dan tegas. Mengingat, Sumber daya manusia masyarakat Indonesia yang sangat beragam suku, budaya, ras, dan agama.
Terkait dengan isu-isu itu, para praktisi dan akademisi di era digital seyogianya mengadakan tindakan kolaborasi dan kerja sama yang baik. Mereka hendaknya membuat kajian literasi dan mediasi yang intensif untuk melindungi para korban pembunuhan karakter secara signifikan.
BACA JUGA: Undang Cak Percil, Gus Ipul Singgung Tantangan Koperasi di Era Digital
Terdapat tiga kepakaran keilmuan yang dapat menyumbangakan pemikiran dalam kolaborasi tersebut. Yaitu, keilmuan psikologi, hukum, dan teknologi.
Ketiganya dapat membuat sebuah regulasi yang bermanfaat bagi khalayak, sanksi-sanksi apa yang tepat diberikan kepada para pelaku sehingga perbuatan tersebut tidak akan terjadi secara berulang.