TAHUN INI akan jadi tantangan bagi bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Sesuai POJK 5/2015, akhir 2024 ini BPR harus memiliki modal inti Rp 6 miliar.
Jika tidak, berarti mereka harus merger, akuisisi, atau ditutup. Tentu, kecuali Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlonggar aturan itu.
Data OJK menunjukkan, masih ada 212 BPR yang hingga kini belum bisa memenuhi modal inti Rp 6 miliar. Harus ada upaya serius agar pada akhir tahun ini modalnya bisa memenuhi ketentuan modal minimal.
Saat ini jumlah BPR masih 1.402. Itu jauh berkurang bila dibandingkan dengan tahun 2022 yang masih berjumlah 1.441. Artinya, selama 2023, jumlah BPR berkurang 39. Angka yang cukup banyak meski hanya 2,7 persen dari total BPR. OJK sendiri memproyeksikan tahun depan jumlah BPR tinggal 1.000 saja, tapi sehat.
BACA JUGA: Risiko Operasional Bank
BACA JUGA: Kredit untuk Yang Tidak Bankable
Awal tahun ini saja, sudah enam BPR yang dilikuidasi. Itu melengkapi total 128 BPR yang dilikuidasi sejak 2006. Tidak termasuk BPR-BPR yang memilih merger karena berbagai alasan seperti kekurangan modal, SDM, dan sebagainya.
Mengapa banyak BPR yang tutup? Banyak penyebab. Yang dominan, kata Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dimas Yuliharto, karena tata kelola yang buruk. Banyak pelanggaran terhadap aturan. Misalnya, batas maksimum pemberian kredit (BMPK), kredit dengan agunan tidak cukup, dan fraud.
Tata kelola memang jadi faktor penting penyebab buruknya kinerja BPR-BPRS. Tata kelola yang buruk termasuk risiko operasional yang dominan di perbankan. Yang dampaknya terhadap kinerja cukup signifikan.
BACA JUGA: Laba Jumbo Perbankan
Tata kelola juga terkait dengan sumber daya manusia (SDM) perbankan. Bagi BPR, SDM itu problematika yang rumit. Sebab, BPR akan selalu dapat SDM ”kelas dua”. Sebab, banyak SDM kelas satu yang memilih bekerja di bank konvensional. Yang lebih besar asetnya, lebih efisien, dan berpotensi memperoleh laba yang tinggi.
BPR memang selalu ”mengalah” kepada bank umum (BU) dan bank umum syariah (BUS). Dapat SDM ”buangan” dari bank umum. Itu konsekuensi karena aset BPR relatif kecil sehingga tidak bisa seefisien bank umum.
Selain tata kelola, ladang bisnis BPR dan BPRS memang terdesak dari bawah dan atas. Dari bawah, ada koperasi, BMT (baitul mal wa tamwil) atau koperasi syariah yang aturannya sangat longgar. Dari atas, ada bank umum yang membuka unit mikro. Yang akan berhadap-hadapan dengan BPR-BPRS.
BACA JUGA: Nasib 21 Unit Syariah Bank Konvensional
Bank Indonesia pernah menggali potensi pengaturan field usaha BPR-BPRS. Agar tidak digencet dari bawah oleh koperasi dan dari atas oleh bank umum.