Kirab budaya itu memiliki sejarah panjang. Bahkan terkait dengan peristiwa Geger Pecinan di Batavia yang terjadi tahun 1740-1743.
Pertikaian itu merembet ke berbagai kota. Termasuk Semarang. Itu membuat Kolonial Belanda ketakutan. Hingga di Semarang, Belanda menempatkan kawasan Pecinan di lokasi yang kini letaknya berada di kawasan Kota Lama.
Dulu, kawasan tersebut berada di Jalan Simongan. Tujuan pemindahan itu supaya Belanda lebih mudah dalam melakukan pengawasan.
“Padahal di Simongan itu merupakan tempat bagi umat Tri Dharma untuk mengambil abu sembahyang. Lokasi pengambilan ada di Gua Simongan, di dalam TITD Sam Poo Tay Djien,” terangnya.
Khoe Tjiang Wa, kepala operasional TITD Tay Kak Sie Semarang. Ia bercerita panjang-lebar tentang TITD itu serta sejarah panjangnya. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY
Setelah pemindahan tersebut, Belanda menjadikan Simongan sebagai pemukiman warga Yahudi. Tak sembarang orang boleh masuk tempat itu. Kalau pun ingin masuk, harus membayar dengan jumlah yang besar.
“Orang Tionghoa zaman itu ya seperti zaman sekarang. Belum tentu semuanya punya uang. Dikenai peraturan tarif masuk, banyak yang tak mampu membayar,” ungkapnya.
Maka, hanya orang-orang yang memiliki uang saja yang dapat pergi ke Gua Simongan untuk mengambil abu persembahyangan. Termasuk para tokoh dari Tay Kak Sie pada masa itu.
BACA JUGA: Loenpia Semarang Gang Lombok No. 11, Loenpia Tertua di Semarang sampai Generasi Kelima
Mereka membawa abu dengan jumlah banyak untuk diletakkan di TITD. Dan hingga kini proses itu masih terus dilakukan. Bentuknya dengan cara kirab.
Arak-arakan tersebut bertujuan untuk penguatan abu sembayangan. Prosesnya dilakukan sejak pukul 12 malam. Diawali dari memanjatkan doa serta berbagai upacara lainnya.
Rupang Dewi Kwan Im di altar utama yang berusia sekitar 300 tahun. Rupang itu telah ada sejak TITD Tay Kak Sie yang dulu bernama Kwan Im Ting, didirikan. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY
Pagi hari barulah kirab digelar. “Membawa rupang dewa-dewi, terutama rupang Dewi Kwan Im. Lengkap dengan pusaka-pusaka pula,” tuturnya.
Pusaka yang dimiliki Tay Kak Sie, menurut Andre memiliki bentuk khusus. Tak seperti senjata-senjata di Tiongkok. “Di sini pusaka yang kami punya adalah hasil dari akulturasi Tionghoa-Jawa.
Sama seperti kirab pusaka di Keraton Yogyakarta. Kami pun mengarak pusaka-pusaka Tay Kak Sie dalam acara tahunan itu,” terangnya.
Selain kirab tersebut, ada satu kirab lagi yang dilakukan oleh TITD Tay Kak Sie. Yakni mengarak rupang Dewa Pengobatan Poo Seng Tay Tee. (Guruh Dimas Nugraha)
Indeks: Pandemi malaria di Semarang, 118 tahun silam, baca besok...