Loenpia Semarang Gang Lombok No. 11, Loenpia Tertua di Semarang sampai Generasi Kelima
Loenpia Semarang Gang Lombok No. 11 dijajakan dalam dua jenis. Loenpia basah dan kering. Dua-duanya diminati pengunjung. Bedanya hanya kulit loenpia basah tidak digoreng. Keduanya memiliki rasa yang khas.--HARIAN DISWAY
SEMARANG, HARIAN DISWAY - Menjelang berbuka puasa, banyak warga mengunjungi toko Loenpia SEMARANG Gang Lombok No. 11. Letaknya di gang yang tak seberapa besar. Di sudut Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Tay Kak Sie, SEMARANG Tengah.
Disebut Loenpia Semarang Gang Lombok No. 11 karena letaknya memang di Gang Lombok Nomor 11. Masyarakat setempat sudah sangat familiar dengan usaha tersebut. Sebab keberadaannya di situ telah 100 tahun lebih.
Kini usaha itu dipegang generasi kelima. Yakni Vincen Setiawan Usodo. “Sebenarnya papa saya, Untung Usodo, masih meng-handle usaha ini. Beliau generasi keempat. Namun, kini giliran saya. Papa istirahat di rumah saja,” ujar Vincen.
Vincen Setiawan Usodo adalah generasi kelima usaha Loenpia Semarang Gang Lombok No. 11. --HARIAN DISWAY
Ia lantas menunjukkan berbagai sudut tokonya yang tak seberapa besar itu. Ukurannya 5 x 5 meter. Hampir seluruhnya telah direnovasi. “Yang masih ada kesan lawasnya ya dinding marmer jadul ini. Lainnya sudah diperbarui,” ungkapnya, sambil meraba dinding toko bagian kanan. Warna marmernya merah marun.
Usaha loenpia itu diawali sejak abad ke-19. Pelopornya adalah Tjoa Thay Yoe, seorang perantau dari Fujian, Tiongkok. Ia datang dan menetap di Semarang.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Tjoa membuat makanan khas dari daerah asalnya. Isinya daging babi dan rebung. “Jadi awalnya moyang saya berjualan keliling. Hingga bertemu dengan perempuan lokal. Namanya Mbok Wasih. Sama-sama pedagang kuliner,” ujarnya.
Dagangan Mbok Wasih hampir sama dengan makanan yang disajikan Tjoa. Hanya, Mbok Wasih memberi isian udang dan kentang. Karena mirip, keduanya kerap berdiskusi berdua. Hingga muncullah benih-benih asmara. Tjoa dan Mbok Wasih pun menikah.
BACA JUGA:Wisata Kuliner Khas Maluku di Dapur Fizzul, Anda akan Diajari Cara Makan Papeda
“Jadi, para generasi keturunan Tjoa itu anak-anak campuran. Tionghoa-Jawa. Termasuk saya,” katanya. Tak hanya dari sisi asmara. Keduanya pun memadukan kuliner mereka.
Hingga terciptalah kue loenpia. Loen artinya gulung, sedangkan pia adalah kue. Artinya kue gulung. Dari situ keduanya mencoba menjajakan inovasinya pada warga. Untuk menjajakan dagangannya, awalnya mereka menggunakan gerobak dorong.
“Maka usaha ini diawali dari dagang keliling. Pakai gerobak. Dari satu titik ke titik lain. Tapi masyarakat waktu itu suka dengan rasanya,” terang pria 27 tahun itu. Setelah berhasil mengumpulkan uang, mereka membeli bangunan di Gang Lombok. Digunakan sebagai toko tempat berdagang loenpia.
Usaha itu laris-manis dan bertahan begitu lama. Generasi yang sekarang pun masih mempertahankan konsep aslinya. Yakni menggunakan kemasan berbahan besek, serta resep rahasia yang terus dijaga turun-temurun.
Dengan wadah besek yang jadi khasnya, cap Loenpia Semaranng Gang Lombok No. 11 tetap tak berubah sejak awal. --HARIAN DISWAY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: