Sebelum Membunuh, Diberi Obat Tenang

Sabtu 11-05-2024,21:47 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Yusuf Ridho

Dikutip dari hasil riset Australian Institute of Criminology yang berjudul The role of depression in intimate partner homicide perpetrated by men against women: An analysis of sentencing remarks, ternyata kasus suami depresi membunuh istri sangat banyak di Australia.

Karya ilmiah itu disusun tim: Siobhan Lawler, Hayley Boxall, dan Christopher Dowling. Mereka melakukan riset tentang intimate partner homicide (IPH) di sana.

Dijelaskan, penelitian itu menggunakan penalaran dan analisis hakim sebagai wahana untuk memahami hubungan depresi dan IPH. Khususnya, dalam perspektif hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku IPH.

Diungkapkan, dari 70 perkara IPH, sekitar 35 persen pelakunya adalah pengidap depresi. Sedangkan penyebab depresi beragam kejadian yang menimbulkan stres pada pelaku.

Dalam beberapa perkara, pelaku mengalami depresi akibat faktor situasional yang terjadi setelah pelanggaran. Artinya, pelaku mengalami depresi setelah membunuh istri. Sebelum membunuh, pelaku tidak dalam kondisi depresi.

Tapi, di sebagian besar perkara, pelaku sudah depresi sebelum terjadinya pembunuhan.

Dari para pelaku yang mengalami depresi sebelum membunuh, sebagian besar depresi muncul beberapa waktu menjelang ia membunuh istri atau anggota keluarga inti.

Sebagian kecil lainnya, pelaku pernah mengalami depresi selama beberapa tahun sebelumnya. Yakni, pelaku bermasalah pada kesehatan mental seperti psikosis dan gangguan bipolar. 

Riset tidak meneliti jauh ke belakang atau penyebab pelaku mengalami gangguan jiwa sehingga menimbulkan depresi. Riset hanya membatasi, pelaku pembunuhan sudah depresi sebelum membunuh.

Dalam beberapa kasus, pelaku digambarkan terlibat dalam perilaku menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.

Kesimpulan riset itu sangat mirip Tarsum. Ia diceritakan sebagai suami yang depresi akibat bisnis bangkrut dan terlilit utang. Lalu, membunuh istri. Setelah Yanti meninggal, Tarsum berusaha bunuh diri, tapi tidak mati.

Perkara itu berbobot terlalu berat buat ukuran Dusun Sindangjaya, tempat tinggal keluarga Tarsum. Ketika Yanti mencurigai perilaku aneh Tarsum dan melaporkan ke puskesmas, sudah tepat. Sebab, hal itu masuk masalah kesehatan.

Petugas puskesmas datang membawa obat penenang (biasa diberikan untuk pasien rumah sakit jiwa). Hal itu juga benar menurut ukuran kemampuan petugas puskesmas tingkat desa. Tentunya, setelah diberi obat penenang, Tarsum tenang. Mungkin tertidur. Tapi, itu bukan penyelesaian pokok masalah.

Seumpama petugas puskesmasnya ahli psikiatri, pasti bakal lain ceritanya. Mungkin tidak akan menimbulkan korban jiwa. Tapi, sudahlah… kondisi puskesmas di desa-desa Indonesia belum sampai ke sana. 

Entah, setelah kelak Indonesia mencapai tujuan dari cita-cita Indonesia Emas 2045. Apakah pelayanan kesehatan sudah mampu mengatasi kasus semacam ini? (*)

 

Kategori :