Mendidik Subjek Merdeka

Selasa 14-05-2024,09:40 WIB
Oleh: Yusuf Ridho

Ke depan, generasi yang merdeka itulah yang sesungguhnya mampu mempraksiskan makna kedaulatan sebagai sebuah bangsa, yang mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

BACA JUGA: Kebijakan Pendidikan setelah Pemilu 2024  

Subjek yang merdeka menjadi generasi dengan komitmen kebangsaan yang tidak diragukan lagi. Pikiran dan tindakannya melampui egoisme sektoral yang berbasis etnisitas, agama, dan golongannya.

Sebab itulah, mengapa pendidikan menjadi ruang kondusif bagi persemaian karakter setiap subjek didik (anak). Durkheim dalam Moral Education (1961) mengatakan bahwa pendidikan dasar merupakan penjaga gawang kepribadian (sebuah) bangsa. 

Pendidikan dasar bukanlah murni berorientasi akademik, melainkan ruang kondusif pembentukan karakter (character building). Membangun karakter membutuhkan proses yang panjang karena di dalamnya diperlukan pembiasaan dan penciptaan perilaku sejak dini. 

BACA JUGA: Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dan Hak Rakyat atas Pendidikan

Secara filosofis, Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan itu ibarat bibit dan buah. Pendidik merupakan petani yang akan merawat bibit dengan cara menyiangi gulma di sekitarnya, memberi air, memberi pupuk agar kelak berbuah lebih baik dan lebih banyak. Namun, petani tidak mungkin mengubah bibit mangga menjadi berbuah anggur.

Itulah kodrat alam atau dasar yang harus diperhatikan dalam pendidikan dan itu di luar kecakapan dan kehendak kaum pendidik. Pendidikan terbaiklah yang justru mampu mengembangkan bakat kodrat manusiawi subjek didik, untuk menjadi lebih manusiawi dan berkontribusi bagi keadaban publik. 

Lembaga pendidikan bukanlah mesin produksi yang mencipta komoditas barang atau pekerja-pekerja yang menjadi ”sekrup” dunia industri. Pendidikan itu mendidik manusia agar mampu mengembangkan potensi utuhnya sebagai manusia. Tidak sekadar ahli di bidang masing-masing, tapi juga memiliki kesadaran sebagai bagian dari anggota sosial, juga bagian dari warga sosial.

Pendidikan selayaknya melahirkan generasi merdeka yang berkesadaran kritis. Yakni, generasi yang memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab sosial yang diembannya. Yang cerdas, tapi memiliki komitmen pada kehidupan publik secara baik. Generasi yang berkeadilan dalam berpikir dan bersikap. Bukan generasi yang berpikir sektoral dan sektarian. 

Isu-isu rasisme dan sektarian yang belakangan menguat, diakui atau tidak, ternyata banyak juga melibatkan masyarakat yang katanya terdidik. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki gelar akademik tertinggi, doktor dan profesor, tapi masih memiliki kecenderungan rasis dan sektarian? Sebuah pikiran dan tindakan yang kontraproduktif dengan karakter cendekia dengan kematangan akademik dan kedalaman batin yang kuat. 

Subjek merdeka sebagai keluaran hasil pendidikan selalu meletakkan kepentingan pikiran dan tindakannya dalam konteks kebangsaan yang lebih luas. Subjek merdeka selalu menjadi generasi yang bertanggung jawab bagi setiap proses-proses transformasi yang berkeadilan sosial. Berpikir terbuka dan berjiwa sosial menjadi watak dari generasi merdeka tersebut.

Refleksi ulang terhadap penyelengaraan pendidikan kita tampaknya tidak bisa ditunda lagi. Salah di tingkat hulu berkahir fatal di hilir. Salah di tingkat konsepsi berakibat fatal pada praksis pendidikan. 

Risikonya tidak sederhana, yakni kesalahan dalam pembentukan pikiran dan tindakan sebuah generasi. Kebangsaan Indonesia ini membutuhkan generasi merdeka yang pikiran dan tindakannya bersifat independen dan tidak mudah diintervensi kepentingan-kepentingan politis sesaat. (*)

 

*) Listiyono Santoso, wakil dekan 1 dan pengajar mata kuliah etika dan filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Kategori :