Coba, dengarkan Laura berkata tentang suasana hati dan otak ketika ia ngebut mengarah ke dinding tembok, begini:
”Rasanya seperti seseorang mencoba mengambil salah satu dari kami. Lalu, saya hanya ingin agar kami bisa terus bersama. Jadi, secara logis satu-satunya cara agar kami tetap bersama adalah dengan mengakhirinya.”
Aneh. Tindakan irasional itu dianggap oleh pelaku sebagai ”logis”.
Masak, Fadhilatun mengidap itu? Jawabannya tentu menunggu hasil pemeriksaan penyidik Polri. Kini Fadhilatun sedang dalam perawatan psikiater polisi.
Pemeriksaan terhadap Fadhilatun tentu sangat rumit. Sepintas bisa disimpulkan bahwa dia syok berat, depresi. Tapi, kan depresi campur aduk. Akibat dia kini menyadari, bahwa sang suami sudah dia bunuh, dan tiga anak Fadhilatun tanpa ortu. Sebagai ibu, dia pasti sangat tertekan dan depresi.
Kalau begitu, berarti Fadhilatun depresi pada pasca pembunuhan. Bukan pra pembunuhan. Padahal, pertanyaan paling mendasar adalah: Mengapa dia bisa membunuh suami? Apakah karena dia mengalami postpartum psychosis? Ataukah stres akibat tekanan problem hidup sehari-hari? Apakah karena kesal kepada sang suami yang pejudi online sehingga menguras uang gaji?
Tragedi Fadhilatun pasti mengharukan. Masyarakat pasti sangat menyayangkan itu terjadi. Orang bersimpati kepada Fadhilatun karena problem hidup dia pasti berat.
Tapi, sebagai edukasi sosial, perlu pengumuman hasil pemeriksaan psikis Fadhilatun. Sebab, tragedi itu bisa menimpa siapa saja. Pun, masyarakat perlu belajar dari hasil pemeriksaan Fadhilatun. Tujuannya, masyarakat terhindar dari tragedi begitu. Di sini kasus Fadhilatun bisa jadi bahan pelajaran masyarakat. Fadhilatun berjasa, bermanfaat, sebagai objek pelajaran bagi masyarakat. Begitulah idealnya.
Bisa juga, masyarakat mengambil hikmah yang gampang dari tragedi itu: Jangan pernah gila judi online. Jika tidak mau berakhir seperti suami Fadhilatun. (*)