DPR Tanggapi Polemik 'Impor' Dokter Asing: Penting Untuk Transfer Pengetahuan Ke Dokter Spesialis Lokal

Sabtu 06-07-2024,11:45 WIB
Reporter : Taufiqur Rahman
Editor : Taufiqur Rahman

HARIAN DISWAY - Anggota DPR Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menanggapi polemik soal dokter asing di Indonesia. Ia menyebut bahwa keberadaan dokter asing di Indonesia bertujuan untuk melakukan transfer pengetahuan pada dokter lokal. 

Edy menyebut bahwa Indonesia kekurangan dokter spesialis yang mebuat akses masyarakat pada kesehatan tidak merata. Selain itu, Edy juga menyebut untuk meningkatkan kemampuan spesialis ini perlu mendatangkan ahli dari luar negeri agar keilmuan tenaga kesehatan dari dalam negeri terus update.

“Dalam pasal 248 sampai 257 UU Kesehatan, sudah diatur bagaimana dokter warga negara asing ini bisa transfer knowledge dan Kementerian Kesehatan pun sudah menginisiasi ini. Salah satunya di rumah sakit di Medan,” ujar Legislator dari Dapil Jawa Tengah III itu. 

BACA JUGA:Dekan FK Unair Yang Lantang Tolak Wacana Kemenkes soal Impor Dokter Asing Dipecat

Edy mengakui bahwa masih ada polemik terkait "impor" tenaga medis asing ke Indonesia. Ini menurutnya lagi-lagi karena belum adanya aturan turunan dari UU Kesehatan.

Dalam UU Kesehatan sudah dijelaskan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan asing ini hanya berlaku untuk spesialis dan subspesialis. Mereka juga harus dilakukan evaluasi oleh kementerian terkait, konsil, dan kolegium. “Untuk itu saya terus menerus meminta agar ada aturan turunan yang merincikan dan menjadi pedoman bagaimana tata laksana program ini. Jangan hanya berdasarkan pernyataan menteri atau surat edaran saja,” ungkapnya.


Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto-Staff Komisi IX -

Edy menjelaskan, akses kepada layanan kesehatan lebih banyak bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki uang berlebih. “Negara kita ini mengalami ketidakadilan sosial di bidang kesehatan,” tutur Edy.

BACA JUGA:Organisasi Dokter Kecam Pemecatan Dekan FK Unair Budi Santoso

Politisi PDI Perjuangan itu merincikan ketidakadilan ini dilihat dari kemampuan akses layanan kesehatan yang dinikmati orang yang mampu. Misalnya bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), baik yang kaya maupun kurang mampu sama-sama membayar iuran. “Namun yang menikmati akses kesehatan itu orang kaya,” tegasnya. 

Dia mencontohkan ketika mau dirujuk, orang miskin akan berpikir bagaimana akomodasi seperti transportasi dan penginapan. Sementara orang kaya, cenderung tidak memikirkan itu.

Menurut Edy, untuk mendapatkan akses layanan kesehatan, utamanya yang spesialis dan sub spesialis, akan lebih mudah dan banyak di kota. Sementara di daerah pelosok, bisa dibilang sulit. “Orang miskin banyak yang tinggal di pelosok dan itu tidak ada dokternya. Bupati mau mendirikan rumah sakit, duit dan sarana ada tapi tidak ada dokter. Akibatnya orang miskin harus melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan dokter,” ungkapnya. 

Dia pun mendorong agar produksi dan distribusi spesialis ini betul-betul dilakukan. “Untuk distribusi, salah satunya dengan adanya hospital based. Pendidikan berbasis rumah sakit, ayo segera bentuk peraturan pemerintahnya. Sebab ini sudah ada di UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan,” desak Edy.(*) 

 

Kategori :