Dua puluh meter sebelum pintu masuk taman nasional, ada gerbang lagi. Di sana harus membayar retribusi Pemkab Probolinggo sebesar Rp 25 ribu. Sedangkan masuk taman nasional, harus membayar Rp 34 ribu untuk wisatawan domestik dan Rp 320 ribu untuk wisatawan mancanegara. Itu tarif di hari libur.
Untungnya, tiket masuk itu bisa dipakai untuk multientry bagi yang menginap di hotel yang masuk kawasan wisata Bromo. Caranya dengan hanya menunjukkan tiket dalam bentuk kertas. Logikanya, harus membayar kembali kalau tiket yang telah dibeli hilang atau ketlingsut. Sedikit rumit.
Pertanyaannya, kenapa antara tiket masuk wisata Bromo dan retribusi pemda tidak digabung saja? Bukankah hal seperti itu gampang sekali untuk dikolaborasikan? Itu menunjukkan kesadaran kolaborasi antar pemerintah masih sangat kecil. Wisata Bromo berada di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
BACA JUGA: Jazz Gunung Bromo 2024, Dewa Budjana Janjikan Penampil yang Warna-Warni
BACA JUGA: Jazz Gunung Bromo 2024, Ajang Regenerasi Musisi sampai Penonton
Bisa juga kolaborasi antara pemda, KLHK, dan pihak swasta pengelola hotel di dalam kawasan BNBTS. Tentu hal tersebut bukan hal mustahil dilaksanakan meski pintu masuk ke kawasan wisata itu melalui beberapa pemerintah kabupaten di sekitar kawasan Bromo. Apalagi, ditambah kolaborasi untuk mempercantik pintu masuk kawasan wisata dunia tersebut.
Sungguh mengesankan pengelolaan wisata Bromo nirkolab. Suatu tata kelola yang bisa dianggap primitif untuk zaman sekarang.
Padahal, Jazz Gunung telah menunjukkan contoh sukses kolaborasi dalam menggenjot pariwisata Indonesia. Event tahunan itu selalu mendapatkan kunjungan penonton setiap tahun. Kolaborasi swasta, musikus, dan pemerhati budaya Indonesia.
BACA JUGA: Residensi Bromo Jazz Camp, Jazz Gunung Bromo, Jelang Tampil Makin Intens Latihan
BACA JUGA: Jazz Gunung Bromo, Begini Serunya Residensi Bromo Jazz Camp
Konsistensi dalam membangun kolaborasi antar berbagai pihak itu menjadikan Jazz Gunung terus berkembang. Bahkan, tahun ini menjadi Jazz Gunung Series: Mulai Jazz Gunung Slamet (Purwokerto), Jazz Gunung Bromo (Probolinggo), Jazz Gunung Ijen (Banyuwangi), dan Jazz Gunung Golomori (Labuan Bajo).
Jazz Gunung Series 2024 diinisiasi Jazz Gunung Indonesia (JGI). Suasana kolaborasi itu terasa oleh keterlibatan berbagai pihak dalam event musik tersebut. Ada banyak sponsor yang selalu terlibat dalam rangkaian festival di berbagai daerah tujuan wisata itu. Terbaru, keterlibatan Andi F. Noya, host talk show yang terkenal dengan Kick Andy.
”Enam belas kali bukan bilangan yang kecil. Sungguh ini kontribusi yang tidak sedikit bagi musik jazz dan pariwisata di Indonesia,” katanya. Menurut Sigit, penyelenggaraan Jazz Gunung Series 2024 merupakan usul dari Andi F. Noya.
BACA JUGA: Jazz Gunung Bromo 2024: Siap Bediding Yuk
BACA JUGA: Jazz Gunung Indonesia Gelar Bromo Jazz Camp, Kuatkan Ekosistem Musik Jazz
Yang pasti, Jazz Gunung yang digagas kali pertama oleh pasangan suami istri dan dua kakak beradik seniman Jogja itu merupakan contoh kolaborasi yang sukses. Dunia modern memang dunia kolab. Akan tampak primitif jika kawasan wisata dikelola nirkolab seperti Kawasan Bromo.