NILAI TUKAR RUPIAH terhadap dolar AS terus mengalami tren pelemahan dan mencapai Rp 16.400 per dolar Amerika Serikat (AS) (per 15 Juni 2024). Itu titik terendah sejak masa pandemi pada April 2020. Meski terjadi pelemahan rupiah, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis terhadap kinerja rupiah yang dinilai relatif kuat jika dibandingkan dengan negara lain.
Optimisme BI didasarkan pada perbandingan depresiasi rupiah dengan mata uang negara lain. Memang benar bahwa dalam konteks regional dan global, pelemahan rupiah terlihat lebih moderat. Namun, argumen itu mungkin kurang relevan bagi masyarakat yang merasakan dampak langsung dari depresiasi mata uang.
Intervensi yang dilakukan BI yang berorientasi strategi trisula, seperti intervensi di pasar domestic non deliverable forward (DNDF), pasar spot, dan pasar SBN, memang berhasil menjaga stabilitas sementara. Namun, efektivitas jangka panjang dari strategi itu masih perlu pembuktian, terutama jika tekanan eksternal terus meningkat.
BACA JUGA: 5 Fakta Perekonomian RI Melemah: Dari Rupiah Anjlok hingga Marak PHK Karyawan
BACA JUGA: Rupiah Cemas
Per 18 Juni 2024, intervensi kurs rupiah sempat berhasil membuat nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 16.376 per dolar AS. Bahkan, kurs rupiah sempat menguat menjadi Rp 16.348 per dolar AS pada keesokan harinya pada 19 Juni 2024. Namun, penguatan itu tidak sampai signifikan. Rupiah kembali bertekuk lutut di hadapan dolar AS pada 20 Juni 2024.
Kurs rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) melemah 0,32 persen ke Rp 16.420 per dolar AS. Sementara itu, di pasar spot, kurs rupiah berada di Rp 16.430 per dolar AS. Kurs rupiah spot melemah 0,40 persen dari posisi penutupan perdagangan sebelumnya. Nilai tukar rupiah itu ambruk ke level paling lemahnya sejak pandemi Covid-19 atau April 2020.
Sementara itu, hingga perdagangan pada 21 Juni 2024 siang, rupiah masih terpukul dolar AS. Pada tengah hari di tanggal yang sama, nilai tukar rupiah spot ada di level Rp 16.457 per dolar AS. Posisi itu melemah 0,16 persen dari sehari sebelumnya yang ada di Rp 16.430 per dolar AS.
BACA JUGA: Catatan Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah: Antisipasi Dampak Rupiah Loyo
BACA JUGA: Nilai Rupiah Hampir Tembus Rp 16.300 per Dolar AS, Jokowi Hanya Bilang Begini
Mengamati laju pergerakan nilai rupiah yang masih dalam tekanan pelemahan, terkesan Bank Indonesia seakan keteteran menghadapi gempuran tekanan eksternal kendati berbagai ”suplemen obat kuat moneter” telah diresepkan.
Lebih mencemaskan lagi, jika kondisi itu dibiarkan berlarut-larut tanpa segera ditangani dengan berbagai kebijakan moneter maupun fiskal yang tepat takaran, bisa berisiko sistemik kepada sektor keuangan. Dampaknya akan terasa baik di pasar modal, pasar surat utang, maupun ke sektor pembiayaan perbankan.
Kondisi itu dikhawatirkan pula akan memicu dampak beruntun seperti inflasi yang memang menghantui sewaktu-waktu, termasuk wacana pelebaran subsidi energi, penyesuaian harga BBM, dan pembebanan asuransi kendaraan bermotor yang secara psikis dikhawatirkan mengganggu stabilitas ekonomi dan market panic.
Pengalaman yang terdahulu telah mengajarkan kepada kita bahwa ketika kepercayaan pasar terhadap kemampuan pemerintah dalam mempertahankan nilai tukar tersebut mulai goyah, investor dengan cepat menarik modal mereka. Efeknya memicu krisis mata uang.
Itu terlihat jelas di Amerika Latin pada awal 1980-an, ketika spekulan meragukan kemampuan pemerintah untuk mempertahankan patokan nilai tukar mereka, dan di Asia pada akhir 1990-an, ketika investor kehilangan kepercayaan pada pasar keuangan.