Dilema Pengenaan Bea Masuk Antidumping Produk Impor dari Tiongkok

Selasa 06-08-2024,09:03 WIB
Oleh: Sukarijanto*

BACA JUGA: Kemendag: Barang Impor Milik PMI Tak Dibatasi Lagi

Sementara itu, nilai impor mencapai USD 19,40 miliar, naik 14,82 persen (mtm), tetapi turun 8,83 persen (yoy). Penyumbang utama peningkatan nilai impor secara bulanan dan penurunan nilai impor secara tahunan adalah impor bahan baku penolong. 

Jika ditotal secara kumulatif sepanjang Januari–Mei 2024, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan senilai USD 13,06 miliar. Capaian tersebut turun dari periode yang sama tahun lalu, yang kala itu mencapai USD 16,47 miliar. 

Namun, capaian surplus Juni 2024 berkurang USD 1,06 miliar atau turun 30,7 persen daripada surplus Juni tahun lalu (year-on-year/yoy). Surplus neraca dagang Juni 2024 ditopang oleh surplus dari sektor nonmigas yang nilainya USD 4,43 miliar. 

Komoditas penyumbang surplus terutama adalah bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan, serta besi dan baja. Akan tetapi, surplus itu tergerus oleh defisit dari sektor migas sebesar USD 2,04 miliar. Komoditas penyumbang defisitnya adalah hasil minyak dan minyak mentah.

Persoalannya, meski kita telah mencatatkan surplus neraca dagang secara beruntun selama 50 bulan, mengapa dengan tekornya nilai perdagangan dengan Tiongkok justru lebih dicemaskan dan serta-merta memunculkan kebijakan counter measure yang terkesan panik? 

OPTIMALISASI KEUNGGULAN BERSAING

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengaskan bahwa pemerintah akan menerapkan bea masuk antidumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) pada tujuh komoditas perdagangan. 

Komoditas itu adalah tekstil produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, perangkat elektronik, produk kecantikan, barang tekstil sudah jadi, dan alas kaki. Memang diakui, pemerintah dalam kurun beberapa tahun terakhir sebanyak 21 pabrik tekstil tutup, ribuan pekerja terkena PHK, 31 lainnya menyusul. Situasi itu terjadi karena banjir impor ilegal. 

Rentetan PHK yang menimpa sektor manufaktur tersebut diduga telah membuat sekelompok pengusaha ”menekan” pemerintah agar menerapkan BMAD sampai 200 persen. Andaikata BMAD jadi diterapkan, adakah jaminan untuk bisa bersaing dengan produk impor sejenis atau malah justru menjadi bumerang?

Terdapat sejumlah kekhawatiran dari banyak ekonom dan praktisi bila pemerintah hendak mengeksekusi kebijakan pengenaan BMAD. 

Pertama, pengenaan entry barrier berupa bea masuk yang tinggi terhadap produk impor sejenis justru akan menghadirkan tindakan retaliasi dari negara lawan. Berkaca dari kasus pengenaan bea masuk tinggi yang pernah dilakukan AS di era Donald Trump terhadap barang impor Tiongkok, seperti produk manufaktur mulai handuk, masker kesehatan, keramik, sanitasi, sampai pakaian anak-anak. 

Kebijakan Trump itu langsung direspons Presiden Tiongkok Xi Jin Ping yang secara unilateral melakukan devaluasi yuan terhadap USD. Langkah retaliasi Tiongkok itu mengakibatkan produknya menjadi tambah sangat murah dan tetap mampu menembus dan membanjiri pasar AS. 

Kedua, membuktikan negara lawan melakukan kebijakan predatory pricing bukanlah hal gampang. Hal itu menyangkut aspek politis yang justru menjadikan bumerang dan sangat rawan menimbulkan konflik diplomatik. 

Sangat pas sebagaimana dalam premisnya, Michael Porter menandaskan bahwa ”rivalitas antar perusahaan-perusahaan yang sudah ada dalam industri, ancaman dari pendatang baru, ancaman dari produk substitusi, daya tawar dari pemasok, dan daya tawar dari pelanggan merupakan senjata ampuh untuk mengeliminasi kompetitor keluar dari pasar (Competitive Strategy:  Techniques for Analyzing Industries and Competitors, 1980)”. 

Ketiga, pemberlakuan BMAD terhadap produk impor berpotensi makin meningkatkan masuknya barang melalui impor ilegal yang justru malah mematikan industri sejenis dalam negeri. Pada gilirannya, akan mendorong terjadinya PHK.

Kategori :