HARIAN DISWAY - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan kontrasepsi bagi siswa dan remaja telah menimbulkan perdebatan di masyarakat. PP itu merupakan aturan pelaksana dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang disahkan pada 27 Juli 2024.
Kebijakan itu pun menuai pro dan kontra terkait interpretasinya.
Technical Assistant BKKBN Provinsi Jatim Andy Asmara menegaskan bahwa kontrasepsi ini tidak ditujukan hanya untuk pelajar. Melainkan untuk remaja usia sekolah yang telah menikah.
Menurutnya, kalangan remaja itu fokusnya bukan hanya sekolah. Kalau yang sekolah, kata Andy, tentu tidak dibenarkan dan bertolak belakang dengan tugas BKKBN.
BACA JUGA:Inilah Respons Menkes Soal Aturan Penyediaan Alat Kontrasepsi Bagi Pelajar
“Tidak ada arahan satu pun yang kami terima dari BKKBN pusat untuk melegalisasi kontrasepsi kepada pelajar," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis, 15 Agustus 2024.
Andy menekankan, remaja yang menjadi target PP ini mencakup mereka yang berusia hingga 24 tahun atau sebelum menikah. Fokusnya memang untuk mencegah kehamilan pada remaja yang belum siap secara fisik dan mental.
Di Kabupaten Jember, misalnya, banyak remaja usia sekolah yang telah menikah. Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Negeri Surabaya, Jember menempati peringkat kedua tertinggi di Jawa Timur dalam jumlah permohonan dispensasi nikah (diskah) pada 2021 dan 2022, yakni mencapai lebih dari 1.300 pasangan setiap tahun.
BACA JUGA:PP Kesehatan Perbolehkan Aborsi untuk Dua Kondisi Ini
Pada 2023, meski tren menurun, Jember masih berada di peringkat pertama dengan 1.294 pasangan yang meminta diskah. Salah satu alasan tertinggi yakni untuk menghindari zina. “Tapi yang nomor dua, terjadinya hamil di luar nikah dengan total 2.775 perkara," ungkap Andy.
Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan pernikahan siri, yang sering kali tidak terpantau oleh pemerintah. Andy pun menyoroti pentingnya peran tokoh agama dan masyarakat dalam mencegah pernikahan siri pada remaja.
BKKBN akan mengendalikan secara ketat distribusi alat kontrasepsi dan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Baik melalui polindes maupun puskesmas.
Data akan dikumpulkan dari tingkat desa hingga provinsi. “Sehingga data itu bisa dipertanggungjawabkan jumlah pasangan usia subur di desa itu, yang dihitung oleh bidan desa," terang Andy.