SEIRING dengan transformasi dunia, evolusi teknologi, iklim, politik, dan ekonomi, terdapat praktik-praktik yang saling berhubungan yang secara positif untuk menyeimbangkan tujuan lingkungan dan sosial demi kebaikan alam, masyarakat, dan dunia usaha.
Indonesia mempunyai tujuan dan cita-cita keluar dari middle income trap menuju Indonesia Emas 2045. Sejalan dengan cita-cita itu, konsep dan implementasi ekonomi hijau harus segera terealisasi dengan grand design yang tepat.
Dunia saat ini mempunyai ancaman iklim yang tidak bisa dianggap enteng, termasuk Indonesia. Pada 2050 dunia terancam dengan suhu memanas secara ekstrem. Peningkatan suhu mengakibatkan kekeringan parah di berbagai belahan dunia. Hanya orang-orang kaya yang bisa membayar air, sedangkan keran-keran fasilitas publik sudah tidak bisa mengatasi lagi.
BACA JUGA: Surabaya Menuju Ekonomi Hijau
BACA JUGA: Intip Konsep dan Strategi Ekonomi Hijau Ala Prabowo-Gibran
Banyak hutan yang terbakar dan miliaran orang berhadapan langsung dengan suhu yang bisa meroket sampai di atas 50 derajat Celsius, bahkan bisa mencapai 60 derajat Celsius.
Ekonomi hijau menjadi sebuah harapan dan model ekonomi yang memprioritaskan keberhasilan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi.
Ekonomi hijau telah memicu kekhawatiran di beberapa negara maju. Misalnya, Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) tahun 2022, yang disahkan menjadi undang-undang oleh Joe Biden, yang merupakan undang-undang penting di AS dengan tujuan ganda untuk mengekang inflasi dan mengurangi defisit nasional.
BACA JUGA: 2045 Menuju Indonesia Emas, Peluang atau Ancaman?
Sebagian besar IRA didedikasikan untuk keamanan energi dan perubahan iklim, dengan alokasi USD 391 miliar dalam ketentuan pajak yang ditujukan untuk memajukan penggunaan energi bersih dan produksi energi domestik.
Pengenalan IRA telah memicu gelombang kekhawatiran di UE mengenai potensi dampak ekonomi. Inti dari kekhawatiran itu berkisar pada keringanan pajak dan insentif fiskal IRA yang besar yang berfokus pada energi terbarukan, insentif kendaraan listrik, peningkatan efisiensi energi rumah, dan proses manufaktur canggih.
Para kritikus berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut dapat memicu peralihan investasi dan produksi dari UE ke AS sehingga berdampak pada daya saing industri Eropa, khususnya yang terlibat dalam teknologi hijau dan praktik berkelanjutan.
BACA JUGA: Bonus Demografi di Era Indonesia Emas 2045, Berkah atau Musibah?
BACA JUGA: Kebangkitan Kepemimpinan Nasional dan Indonesia Emas