BACA JUGA:Pernah Incar Gunung Argopuro, Belanda Berencana Bangun Kota Masa Depan
Tentu penulis atau peneliti selanjutnya dapat mencabar, mengkritisi dan menawarkan temuan baru. Mas Sair mencoba mengkritisi kelemahan Dramaturgi Goffman yang tidak membahas peran figuran tersebut dalam interaksi sosial sehari-hari (hal. 138).
Padahal dalam panggung sandiwara, kehadiran figuran tetap memberikan ‘keriuhan’ tersendiri. Perempuan-perempuan cantik yang hadir sebagai bagaian dari tim kampanye dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih laki-laki.
Buku yang diterbitkan oleh Intrans Publishing Juli 2024 itu bahasannya sangat sederhana, renyah, dan mudah dipahami bagi pembaca yang baru pertama kali membaca dan memahami Teori Dramaturgi Goffman.
BACA JUGA:Deklarasi Perlawanan pada Buku Bajakan Disuarakan dari Yogyakarta
Apalagi si penulis mampu membumikan dan mendaratkan konsep-konsep abstrak dalam konteks masyarakat barat, menjadi konsep yang dekat dengan keseharian kita sebagai bagian dari drama politik elektoral 5 tahunan terutama Pilkada.
Dramaturgi Politik Elektoral dalam buku itu settingnya adalah Pilwali kota Surabaya (2010) yang akhirnya dimenangkan pasangan Risma-Bambang DH.
Ada 5 paslon yang berkompetisi pada Pilwali 2010. Yaitu Sutadi-Mazlan Mansur; Fandi Utomo-Yulius Bustami; Arief Afandi-Adies Kadir; Tri Rismaharini-Bambang DH; dan Fitrajaya Purnama-Naen Soeryono.
BACA JUGA:Ada 5 Dongeng Legenda yang Bisa Dipakai Para Bunda untuk Kenalkan Nusantara pada Anak
Dari kelima paslon itu, penulis mencoba membuat komparasi dari aspek visi dan isu (hal. 116-117). Sesuai dengan sub judulnya, penulis mencoba memahami perilaku, wacana dan motif politik kandidat dalam konteks Arek Suroboyo.
Arek Suroboyo merupakan sebuah entitas yang memiliki karakter terbuka, egaliter, tanpa tedeng aling aling, ceplas ceplos, tidak berbasa-basi dan memiliki umpatan Dancuk (hal. 59). Karakter semacam itu tentu berpengaruh pada corak demokrasi di Surabaya, khususnya, dan masyarakat Jatim pada umumnya.
Setting semacam itu tentu berdampak pada saat kandidat berinteraksi langsung dengan pemilih yang memunculkan: "kandidat bawa apa?" dan "masyarakat dapat apa" (hal. 105).
BACA JUGA:Resensi Haruki Murakami - Kafka on The Shore dan Kisah di Timur Jawa
Ketika dalam drama politik muncul kondisi semacam itu, maka sesungguhnya dramaturgi tidak sepenuhnya dapat menjelaskan setting yang mengarah pada konstruksi sosial masyarakat tentang Pilkada.
Di situlah sebenarnya celah yang bisa dikritisi lebih mendalam oleh penulis atau peneliti berikutnya. Dramaturgi Goffman cenderung berfokus pada aktor individu yang memainkan peran di hadapan penonton.
Sedangkan penonton memiliki konstruksi atau pemahaman yang berbeda dengan lakon yang diperankan aktor. Interaksi antara aktor dan penonton juga bisa melahirkan pertukaran sosial. Sehingga realitas semacam itu bisa juga dilihat dari perspektif teori pertukaran sosial.