Naskah Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditulis menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu. Bahasa Melayu kuno sebagai alat komunikasi tersebar dalam jangkauan yang sangat luas dan saling memengaruhi terhadap bahasa-bahasa lokal di luar Sumatera.
Tahun 1300 bahasa Melayu kuno telah memosisikan dirinya sebagai bahasa yang bersifat kosmopolit dan internasional. Di Pulau Luzon telah ditemukan teks kuno berbahasa Melayu kuno yang diperkaya dengan toponimi lokal dan nama-nama pribadi.
Ketika agama Islam dan budaya Arab mulai menyentuh kawasan Nusantara di Sumatera, bahasa Melayu mulai ditulis dengan menggunakan huruf Arab pegon yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai huruf Jawi.
Intensitas perdagangan di kawasan Asia Tenggara telah ikut memperkaya bahasa Melayu, terutama dalam penambahan kosakata. Keberadaan pelabuhan Malaka sebagai pelabuhan dagang internasional telah berperan penting dalam menyerap berbagai kosakata yang digunakan sebagai bahasa pergaulan saat itu.
Oleh karena itu, pada abad ke-15 bahasa Melayu sudah memiliki kosakata yang sangat kaya dan menjadi bahasa modern. Menurut Collins, berbagai pedagang datang ke kota-kota di sepanjang Selat Malaka.
Mereka berbicara dalam beberapa bahasa, tetapi menulis dalam bahasa Melayu yang diperkaya dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, Arab, Tamil, Mongolia, Tiongkok, Persia, juga Jawa.
Setelah kawasan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, saat itu unsur-unsur kosakata Portugis mulai memengaruhi bahasa Melayu. Seorang penjelajah Italia bernama Antonio Pigafetta pada 1522 berhasil mengidentifikasi kosakata Portugis yang diserap dalam bahasa Melayu.
Periode itu dianggap sebagai awal terbentuknya bahasa Melayu modern sebagai penerus dari bahasa Melayu kuno. Meski begitu, menurut Collins, perpindahan dari bahasa Melayu kuno ke bahasa Melayu modern tidak dapat ditentukan dengan tepat. Oleh Collins, istilah bahasa Melayu modern mengacu pada ketika bahasa itu mulai bersentuhan dengan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa tersebut menyebar ke seluruh kawasan, seperti halnya bahasa Latin yang menyebar dari Irlandia sampai Hungaria. Antoni Reid dalam bukunya, Southeast Asia in the age of commerce, 1450-1680, the lands below the winds, mengemukakan bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan di Asia Tenggara.
Penduduk dari kota besar perdagangan diklasiifikasikan sebagai orang Melayu karena mereka berbicara dalam bahasa itu dan memeluk agama Islam. Walaupun, keturunan mereka berasal dari Jawa, India, Tiongkok, dan Filipina.
Setidak-tidaknya mereka yang berjualan dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan besar berbicara dalam bahasa Melayu seperti berbicara dalam bahasa mereka sendiri.
Kedudukan bahasa Melayu makin eksis ketika bangsa Belanda mulai menguasai kawasan Indonesia. Selama masa kolonial Belanda, bahasa Melayu telah berperan besar untuk beberapa hal.
Pertama, bahasa Melayu menjadi alat komunikasi verbal yang jangkauannya sangat luas. Bahasa itu tidak lagi digunakan di wilayah Sumatera, tetapi telah menjadi alat komunikasi sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah yang kelak menjadi wilayah Indonesia.
Bahasa Melayu bersama dengan bahasa Jawa dan bahasa Belanda telah menjadi bahasa pergaulan sekaligus sebagai bahasa politik para aktivis pergerakan.
Kedua, bahasa Melayu menjadi bahasa pers atau surat kabar. Surat kabar yang pertama terbit di Hindia Belanda tentu saja adalah surat kabar berbahasa Belanda yang dierbitkan pemerintah kolonial Belanda.
Surat kabar paling awal di Batavia diterbitkan Gubernur Jenderal Daendels, Bataviaasche Koloniale Courant, pada 5 Januari 1810. Surat kabar tersebut masih terbatas untuk menyiarkan berbagai kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan umum.