Sebab, menurut Edi, sudah terbukti di pengadilan bahwa Jessica membunuh Mirna. Dan, Jessica suah mengajukan banding, kasasi, bahkan PK, tapi semuanya ditolak.
Mengapa Edi punya rekaman video CCTV yang bakal dijadikan bahan PK itu? Bukankah Edi berseberangan dengan Otto? Ternyata prosesnya sederhana,
Jumat, 6 Oktober 2023, Edi diwawancarai Karni Ilyas yang tayang live di YouTube. Itu terjadi setelah kasus Jessica heboh akibat beredarnya film dokumenter produksi Singapura berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso.
Di situ Edi menunjukkan ke Karni rekaman video CCTV yang ia simpan di HP.
Edi: ”Perhatikan tangan kiri Jessica itu…. Ini asli CCTV di tempat kejadian. Belum pernah dikeluarkan di mana pun. Jadi, polisi saat lihat itu, waktu itu, senang sekali itu hari sampai lompat.”
Dilanjut: ”Mengapa video ini nggak kita keluarkan dulu waktu sidang? Kita nggak mau dia (Jessica) dihukum mati. Biarin dia kesiksa. Kalau bisa seumur hidup, maksud saya begitu.”
Lantas, video tersebut disimpan di stasiun TV tempat Karni bekerja.
Otto meminta kopi video tersebut ke stasiun TV tersebut, dan diberi. Itulah yang jadi novum PK Jessica.
Belum jelas, apakah di video tersebut kelihatan bahwa Jessica memasukkan sesuatu ke gelas Mirna atau tidak? Namun, Edi secara hukum tidak berwenang punya rekaman CCTV kasus pembunuhan. Sebab, ia bukan penyidik perkara pidana.
Dalam kondisi begitu, apakah Edi mau disumpah sebagai saksi penemu novum tersebut? Padahal, ia mendapatkan video tersebut secara ilegal.
Ataukah orang lain yang dianggap sebagai penemu video tersebut, yakni pihak TV swasta itu? Kalaupun begitu, pihak TV tersebut juga tidak berwenang secara hukum untuk memiliki video bukti perkara pembunuhan, yang belum pernah diulas di pengadilan.
Juga, apa implikasi hukum kasus itu jika dalam sidang PK kelak terbukti, ada bukti hukum yang tidak pernah ditampilkan di persidangan 2016, tapi dimiliki ayah korban pembunuhan. Mengapa itu bisa terjadi?
Sidang PK Jessica bakal seru. Bersaing seru dengan sidang PK kasus Vina Cirebon. Ini pertunjukan drama, betapa parah hakim Indonesia. (*)