Mengenang dan Mewarisi Spirit Kepahlawanan

Minggu 10-11-2024,07:33 WIB
Oleh: Samidi M. Baskoro*

”PAHLAWAN sejati tidak meminta pujian atas jasa-jasanya. Mawar tidak membuat propaganda atas aroma yang disebarkannya, tetapi masyarakat sadar akan aromanya. Bangsa yang menghargai pahlawannya akan menjadi bangsa yang besar. Oleh karena itu, mereka harus menghargai pahlawannya,” kata Presiden Soekarno (De vrije pers, 11 November 1949).

Pernyataan Soekarno mengingatkan pengorbanan dan perjuangan. Pejuang-pejuang kemerdekaan tidak bertindak untuk kepentingan diri sendiri. Hasil perjuangan dinikmati generasi kini. Hari Pahlawan ditetapkan berdasarkan peristiwa perang eskalasi besar yang terjadi di Kota Surabaya. Begini kisah singkatnya.

Awal mula perang ditandai bersandarnya kapal perang HMS Waveney di pelabuhan Surabaya pada 26 Oktober 1945. Pengerahan pasukan merupakan pemicu ketegangan yang berubah menjadi pertempuran. Berdasar perjanjian, pasukan Inggris-India Brigade Ke-49 harus tetap berada di radius 800 meter dari pelabuhan. 

Kenyataannya, pasukan-pasukan itu bergerak masuk kota. Mereka menempati lokasi strategis dengan mendirikan pos-pos komando sampai jauh di seberang Jembatan Wonokromo (Palmos, 2016; Frederick, 1989; Een Rapport over het ”Gubeng-Transport”, Surabaya 28 Oktober 1945). 

Jenderal Mallaby tidak menyadari tindakan tersebut. Akibatnya, hal itu langsung membuat situasi di Surabaya memanas. Gerak pasukan masuk kota merupakan keputusan keliru. Itu dianggap sebagai pelanggaran atas kesepakatan. 

Kondisi yang telanjur panas diperparah lagi oleh D.C. Hawthorn yang menandatangani selebaran yang disebarluaskan pada Sabtu, 27 Oktober. Isi selebaran memerintah rakyat supaya menyerahkan senjata atau ditembak mati (Een Rapport over het ”Gubeng-Transport”, Surabaya, 28 Oktober 1945). 

Teori kausalitas sejarah menyatakan, peristiwa terjadi karena hubungan sebab dan akibat. Ilustrasi tersebut menjadi sebab atas menguatnya semangat para pejuang siap berperang. Perintah penyerahan senjata dinilai sebagai deklarasi perang. 

Maka, peristiwa berikutnya adalah baku tembak sepanjang malam pada 27 Oktober sampai pagi. Pagi hari yang terang, 28 Oktober, tidak banyak orang yang terlihat di jalan. Namun, pada malam hari sejumlah barikade telah bermunculan. Siaran Radio Surabaya menggema yang menyerukan orang-orang untuk melawan. Kemudian, pertempuran berlangsung sampai 30 Oktober (Palmos 2016). 

Peristiwa tersebut membawa petaka bagi komandan pasukan Brigade Ke-49. Sang komandan,  A.W.S. Mallaby, terbunuh pada 30 Oktober 1945 (Het Dagblad, 1 November 1945). Pasukan terlatih dipecundangi pasukan ”amatir” yang baru memegang senjata rampasan. 

Akal sehat kita mungkin bertanya-tanya, ”sang komandan yang dilindungi pengawal, kok bisa tewas?” Kenyataannya memang demikian. Itu membuat panik pemimpin nasionalis dan sekutu di Jakarta.

Mereka segera datang ke Surabaya untuk melakukan perundingan dan menyepakati gencatan senjata. Suasana sedikit mereda pascaperang tiga hari.

Namun, hari yang dimulai dari 31 Oktober sampai 9 November 1945 disebut hari-hari pseudo-normal atau masa peralihan. Bahkan, arek Suroboyo mengistilahkan ”menjelang datangnya badai” (Palmos, 2016). 

Para pejuang dan mungkin juga seluruh masyarakat kota meyakini pertempuran berlanjut. 

Momentum perang tiba bersamaan tersebarnya selebaran ultimatum komandan E.C.R. Mansergh. Isi pamflet memerintahkan penyerahan senjata paling lambat pukul 06.00 tanggal 10 November (Moestadji, 2003: 45). 

Bukan senjata peninggalan tentara Jepang yang diserahkan, melainkan peluru yang dimuntahkan dari magasin. Perlawanan meningkat menjelang berakhirnya pagi yang mengakibatkan pasukan Inggris-India mengalami kerugian (De Maasbode, 12 November 1945). 

Kategori :