Perpaduan merahnya api dan birunya lampu mengiringi barisan mereka menuju panggung.
Lalu lagu Syukur dinyanyikan, suara mereka begitu menggetarkan. Dramatis dan epik. Dua kata yang menggambarkan suasana itu.
Masing-masing berpisah menuju kanan dan kiri. Bersamaan, gadis-gadis berkebaya putih menaiki panggung. Mereka melingkar. Di tengahnya perempuan berkebaya cokelat membungkuk.
Gending-gending Jawa mulai berbunyi. Gadis-gadis mulai menari dengan bedong merah di kedua lengannya.
Lagu Lelo Ledung mengalun, bersamaan di sela-sela tiang belakang patung Soekarno dan Bung Hatta, keluarlah burung garuda.
Bedong merah di tangan mereka dibuka. Ditebar. Menciptakan formasi merah yang indah.
Lalu syair sinden berbahasa Jawa dengan intensitas yang lebih cepat, mengiring masuknya Sutomo kecil.
Lalu perempuan berbusana pejuang bermonolog dari belakang panggung.
BACA JUGA:SMAK St Louis 1 Surabaya Gelar Pentas Teatrikal 10 November 1945
Perlahan dia menuju tengah panggung. Dia ibu Sutomo. Monolog itu berisi pesan untuk Sutomo kecil.
Isinya, Sutomo harus menjadi pribadi yang berguna dan bisa melepas Indonesia dari penjajahan.
Lalu tepuk pramuka dilakukan. Berkali-kali. Sembari anak-anak berbaju pramuka dan gadis berkebaya putih membawa bendera morse serta tunas kelapa.
Dengan suara Bung Tomo kecil yang menunjukan betapa sulitnya ia sekolah. Bahkan ia tidak lulus karena kendala biaya.
Sebab itu, kakeknya memasukkan Sutomo kecil ke Kepanduan Indonesia. Tempat di mana semangat nasionalisnya ditempa.
Selesai, lagu Kami Pramuka Indonesia mengiringi tarian mereka. Dilanjutkan dengan lagu Garudaku. Panggung langsung gelap setelah lagu berakhir.