KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat baru-baru ini mengejutkan banyak pihak. Kemenangan Trump kali ini sebesar 51 persen atau 71 juta suara popular vote (cnbcindonesia.com, 7 November 2024).
Bahkan, di antara pemilih pekerja Amerika Serikat (AS), Trump juga mendapatkan jumlah suara signifikan di tingkat elektorat.
Hal tersebut tentu mengejutkan. Sebab, pada umumnya kantong-kantong suara Partai Republik, yang merupakan afiliasi partai Trump, terdapat di kalangan kelas menengah. Itu mungkin disebabkan adanya transformasi dari ekonomi berbasis industri menuju ekonomi berbasis informasi.
BACA JUGA:Kemenangan Donald Trump dan Implikasinya bagi Indonesia
Fenomena itu menyebabkan kurang terkonsolidasinya aspirasi politik buruh dan pekerja yang biasanya diorganisasi oleh serikat pekerja. Dengan semakin berkurangnya industri yang membutuhkan jumlah pekerja dalam jumlah banyak, peran serikat pekerja tersebut menjadi makin lemah (Meyerson 2024).
Salah satu hal yang membuat banyak pihak khawatir terhadap kemenangan Trump adalah gaya kepemimpinannya yang cenderung rasis dan sering kali menunjukkan sikap merendahkan perempuan (misoginis).
Dalam beberapa kesempatan di depan publik, presiden terpilih AS itu pernah tanpa segan mencium dan memegang bagian pribadi perempuan tanpa seizin mereka.
BACA JUGA:Tantangan Kabinet Prabowo Pasca Kemenangan Trump
Itu, misalnya, bisa dilihat pada saat wawancara dengan The New York Times dan Palm Beach Post tahun 2016. Di awal tahun tersebut, seorang mantan ratu kecantikan Washington mengunggah keresahannya di Facebook karena Trump telah ”meremas pantatnya” ketika dia mengikuti kontes kecantikan Miss USA.
Selain itu, masih banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana sikap Trump terhadap perempuan.
Seperti yang dinyatakan kanal berita Vox, Trump secara terang-terangan mengakui bahwa baginya, perempuan hanyalah objek seksual. Isu seksisme tersebut bahkan menjadi salah satu kritik utama terhadap kampanye Partai Republik.
BACA JUGA:Kemenangan Trump: Doktrin ”America First” dan Implikasinya ke Pasar Global
Itu sangat berbeda dengan pemilihan presiden AS sebelumnya, yang lebih mendasarkan kritik pada kebijakan, misalnya, akses pelayanan kesehatan dan hak untuk melakukan aborsi.
Dalam konteks kebijakan luar negeri, selama kampanye, Trump sering kali membuat janji untuk membuat kebijakan yang kontroversial dan menantang arus. Kebijakan yang dijanjikan tersebut sangat berbeda secara diametral dengan kebijakan luar negeri yang telah dibuat para pendahulunya.
Terkait dengan kerja sama unilateral, misalnya, Trump secara terang-terangan menyatakan sifat oposisinya terhadap Uni Eropa dan NATO.