Menurut R.W. Connell dan James W. Messerschmidt, maskulinitas hegemonik adalah praktik gender yang memberikan legitimasi terhadap patriarki dan menjamin posisi dominan laki-laki dan subordinasi perempuan.
Bangkitnya maskulinitas hegemonik yang digaungkan oleh Trump tersebut tentu tidak menguntungkan bagi upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk membangun kesetaraan gender.
Untuk menciptakan dunia yang lebih baik dengan relasi gender yang saling menghormati, individualisme dan keinginan untuk menang sendiri juga sangat tidak kompatibel dengan tatanan dunia yang makin membutuhkan kolaborasi.
Kondisi dunia sekarang ini, menurut Warren Bennis dan Burt Nanus, penuh dengan perubahan yang begitu cepat, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA/volatile, uncertain, complex, ambiguous). Fleksibilitas serta kemampuan untuk beradaptasi dan bekerja sama merupakan strategi jitu dalam menghadapi situasi tersebut.
Agresivitas, sikap yang sering ditunjukkan Trump di depan publik, tentu sangat bertentangan dengan semangat kolaborasi.
Keinginan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan tidak akan pernah berhasil menciptakan perdamaian dan keadilan. Maskulinitas hegemonik juga tidak menguntungkan bagi kiprah perempuan di ranah publik.
Norma maskulinitas itu hanya menguntungkan status quo laki-laki dalam masyarakat patriarkal. Untuk menciptakan tatanan gender yang egaliter, laki-laki yang menjadi pemimpin perlu menunjukkan simpati dan kemauan untuk bekerja sama dengan semua orang dalam memajukan kepentingan perempuan.
Perempuan yang bahagia dan merasa dihargai akan menjadi kunci utama kesuksesan dan kesejahteraan suatu negara. (*)
*)Nur Wulan adalah pengajar di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.