SURABAYA, HARIAN DISWAY - Dalam dunia sastra, nama Eka Kurniawan paling sering diperbincangkan di kancah internasional dalam dua dekade terakhir. Ia lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 28 November 1975. Eka merupakan seorang penulis yang mampu mengawinkan kekayaan tradisi lokal dengan gaya narasi modern.
Tidak berlebihan jika ia disebut sebagai “Harapan Baru Sastra Indonesia.” Eka menghabiskan masa mudanya di lingkungan pedesaan yang lekat dengan cerita rakyat dan tradisi lisan. Kecintaannya pada sastra mulai tumbuh saat ia berkuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Di sana, ia tidak hanya membaca karya-karya sastra Indonesia. Tetapi juga literatur dunia seperti Gabriel García Márquez, Fyodor Dostoevsky, dan William Faulkner. Debut Eka dalam dunia sastra dimulai dengan novel Cantik Itu Luka (2002).
Buku itu tidak hanya mengguncang dunia literasi Indonesia, tetapi juga mendapatkan pengakuan internasional. Berkisah tentang Dewi Ayu, seorang pekerja malam yang hidup di era pasca-kolonial. Melalui ceritanya, Eka menyajikan perpaduan epik sejarah, mitologi, dan realisme magis yang memesona.
BACA JUGA:3 Karya Besar Eka Kurniawan yang Mengguncang Dunia Sastra
Selain Cantik Itu Luka, novel Lelaki Harimau (2004) menjadi tonggak penting dalam kariernya. Buku itu bahkan masuk daftar panjang The Man Booker International Prize pada 2016, menjadikannya penulis Indonesia pertama yang mendapat kehormatan tersebut.
Dengan plot yang berpusat pada Margio, seorang pemuda yang dirasuki roh harimau, novel itu mengeksplorasi tema kekerasan, cinta, dan misteri kehidupan dengan cara yang tak terlupakan.
Eka juga telah menulis karya-karya lain. Seperti kumpulan cerita pendek Cinta Tak Ada Mati dan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Karya terakhir itu diadaptasi menjadi film pada 2021 dan memenangkan penghargaan Golden Leopard di Locarno Film Festival.
Karya-karya Eka telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Pengakuan dari dunia internasional terus berdatangan. Mulai dari ulasan di The New York Times hingga penghargaan sastra bergengsi. Ia dianggap sebagai penerus tradisi sastra Pramoedya Ananta Toer, tetapi dengan pendekatan khasnya sendiri.
BACA JUGA:Apa Itu Stoikisme? Mari Pahami dari Buku Filosofi Teras Karya Henry Manampiring
Cantik itu Luka menghadirkan kisah perempuan kala penjajahan dan peliknya toxic masculinity. --shopee
Di tingkat nasional, Eka juga mendapatkan apresiasi tinggi dari para kritikus dan pembaca. Tidak sedikit yang menganggapnya sebagai pelopor kebangkitan sastra Indonesia di era modern.
Dengan gaya bahasanya yang provokatif namun puitis, Eka berhasil menciptakan narasi yang relevan untuk berbagai kalangan.
Bagi Eka, menulis adalah cara untuk merefleksikan kehidupan. Ia tidak ragu mengangkat tema-tema yang gelap. Seperti kekerasan, ketidakadilan, dan trauma sejarah. Namun, di balik itu semua, selalu ada unsur-unsur tertentu yang mengajak pembaca untuk merenung lebih dalam.
Dalam berbagai wawancara, Eka sering mengungkapkan bahwa inspirasi menulisnya datang dari berbagai sumber. Seperti pengalaman pribadi, sejarah lokal, hingga pengaruh budaya pop. Pendekatan itu menjadikan karyanya dekat dengan pembaca, meskipun ia membahas isu-isu yang kompleks.
Eka bukan hanya seorang penulis. Ia adalah ikon yang membawa sastra Indonesia ke panggung dunia. Karyanya mengingatkan siapa saja bahwa cerita lokal memiliki daya tarik universal.
Di tengah dominasi karya-karya Barat, Eka adalah bukti bahwa suara dari Asia, khususnya Indonesia, memiliki tempat yang sama pentingnya.
BACA JUGA:Buku 22 Ways to Self-Love yang Ditulis Reffi Dhinar Ini Bantu Perempuan Usir Minder
Apakah Anda sudah membaca karya Eka? Jika belum, cobalah untuk menjelajahi dunia magis yang ia ciptakan. Siapkan diri untuk sebuah perjalanan emosional yang penuh kejutan dan refleksi mendalam.(*)