PERISTIWA ”candaan” tak elok terhadap pedagang es teh yang melibatkan pemuka agama Miftah Maulana Habiburrahman, disusul pengunduran diri Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, mengingatkan tentang cancel culture.
Apakah itu?
Tidak lama setelah kasus tersebut viral di awal Desember 2024 itu, muncul petisi-petisi di media sosial yang menghendaki Gus Miftah –panggilan karibnya– dicopot dari jabatannya. Setidaknya ada tujuh petisi. Di antaranya adalah situs change.org yang digagas Dika Prakasa pada 4 Desember 2024.
BACA JUGA:Gus Miftah: Goblok
BACA JUGA:Begini Alasan Miftah Undur Diri dari Jabatan Utusan Khusus Presiden
Isinya, meminta Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan kembali jabatan yang diberikan kepada Miftah. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menghormati, menghargai mereka-mereka yang bekerja sebagai pedagang, tukang bakso, nelayan, dan pekerja di lapisan masyarakat menengah lainnya.
Per Kamis, 5 Desember 2024, pukul 23.30 WIB, sebanyak 160.030 orang telah menandatangani petisi itu. Hanya dalam waktu sehari, 160.030 orang telah menandatanganinya. Sampai 8 Desember 2024, telah terkumpul 318.440 tanda tangan.
Puncaknya, per Jumat, 6 Desember 2024, Miftah resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai UKP. Hal itu sekaligus menjadikan Miftah sebagai pejabat pertama dalam pemerintahan Presiden Prabowo yang mengundurkan diri dalam 100 hari pertama.
BACA JUGA:Sambil Menangis, Sunhaji Pedagang Es Teh Minta Prabowo Tolak Pengunduran Diri Gus Miftah
Fenomena pengunduran diri Miftah yang disebabkan desakan dari masyarakat melalui petisi di media sosial tersebut dikenal dengan istilah cancel culture. Terjemahan harafiahnya adalah ”budaya pembatalan”.
Cancel culture merupakan budaya memboikot seseorang yang dianggap bermasalah secara massal. Misalnya, saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung.
Praktik pemboikotan massal tersebut biasanya juga diikuti dengan pemberhentian dukungan kepada orang tersebut. Fenomena cancel culture itu bukan hal baru. Popularitasnya meroket di era media sosial, yaitu X (Twitter), pada 2010-an.
BACA JUGA:Prabowo Respons Pengunduran Diri Miftah sebagai Utusan Khususnya