BACA JUGA: Donald Trump Posting Gambar Deepfake AI Berisi Dukungan Taylor Swift
Tidak kalah pentingnya adalah pengguna aplikasi percakapan WhatsApp. Data statistik menyebut, Indonesia menjadi negara paling banyak pengguna aktif nomor 3 di dunia setelah India dan Brazil dengan 112 juta pada 2023 (social app report).
Hampir semua media yang penulis sebutkan tadi sudah menjadi bagian penting dari kehidupan umat manusia di dunia sekaligus menjadi palagan penyebaran informasi, bisa sesuai fakta atau palsu.
Realitas Semu
Jean Baudrillard, pemikir posmodernisme asal Perancis, mempunyai konsep simulasi, simulakra, serta hiperrealitas. Simulasi mengacu penciptaan suatu objek melalui model konseptual yang akhirnya menggantikan posisi objek tersebut. Konseptual ini pada akhirnya mengaburkan batas antara realitas dengan yang palsu, sehingga menciptakan hiperrealitas.
BACA JUGA: Nagita 61 Detik, Gorengan Deepfake?
Yasraf A. Piliang menyebut, melalui model simulasi, manusia dijebak dalam suatu ruang, yang disadarinya sebagai "nyata", meskipun sesungguhnya "semu" atau khayalan belaka. Ruang realitas semu ini merupakan satu ruang antitesis dari representasi—dekonstruksi dari representasi itu sendiri.
Manipulasi video, audio, hingga gambar yang menggunakan teknologi deepfake dianggap oleh beberapa korbannya nyata. Korban ini tergoda oleh tayangan-tayangan semu yang menggunakan simbol, tanda, dan bentuk model tokoh publik hingga pejabat negara di Indonesia yang akan memberikan bantuan secara tunai.
Manipulasi video, audio, hingga gambar yang menggunakan teknologi deepfake dianggap oleh beberapa korbannya nyata. --iStockphoto
Korban kesulitan membedakan yang nyata dan palsu, sehingga termakan jebakan. Para korban ini kemudian diminta mengisi formulir pendaftaran sebagai calon penerima bantuan dan diminta membayar administrasi. Namun, setelah semua dituruti oleh korban, pelaku penipuan menggunakan deepfake ini hilang dan tidak bisa dikontak.
BACA JUGA: Cara Menjaga Kesehatan Mental di Era Media Sosial
Dalam hal ini, kemajuan dunia digital yang didukung oleh new media secara tidak sadar mampu menjebak seseorang melalui konseptual-konseptual pencitraan atau penampakan visual. Pembauran antara yang nyata dengan yang semua atau palsu sudah sulit dibedakan menyebabkan manusia masuk dalam perangkap hiperrealitas.
Meningkatkan Literasi Digital
Marshall McLuhan menjelaskan, perkembangan teknologi informasi memungkinkan umat manusia hidup dalam dunia yang disebutnya "desa global", dunia yang tidak lebih besar dari sebuah layar kaca. Karena dapat diakumulasikan, direproduksi, dan disiarkannya kembali segala bentuk informasi melalui media tersebut.
Prinsip dari desa global adalah koneksi melalui jaringan internet. Dunia serasa berada di genggaman. Problematiknya cukup kompleks, sehingga perlu dilakukan mitigasi menangkis berbagai upaya penipuan menggunakan deepfake atau kejahatan lain berbasis digital.
BACA JUGA: Doomscrolling: Maraknya Informasi Negatif di Media Sosial, Picu Gangguan Mental
Salah satu usaha yang harus getol dilakukan adalah meningkatkan literasi digital masyarakat. Masyarakat perlu dilatih untuk berpikir kritis terhadap segala informasi yang muncul di dunia digital yang bergerak sangat cepat dan dinamis, serta diberi pemahaman menggunakan perangkat digital secara bijak.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kondigi) memaparkan, literasi digital adalah kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital yang bisa diterapkan dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
Terdapat 4 (empat) pilar literasi digital yang digagas Komdigi. Pertama, digital skills. Ini berkaitan dengan kemampuan setiap individu dalam memahami perangkat keras dan lunak, serta sistem operasi digital. Kedua, digital culture yang berupaya membangun wawasan kebangsaan dan budaya di ruang digital.