"Ketika guiding block-nya terputus, aku tetap pakai tongkat untuk cari lanjutan guiding block lagi,” jelas lelaki 28 tahun itu.
BACA JUGA:Di Indonesia, 22 Januari Diperingati Hari Pejalan Kaki Nasional
Lalu, bagaimana bila tak menemukan guiding block di titik selanjutnya?
Aswar mengaku langsung berjalan lurus dengan tetap menggunakan bantuan tongkat.
Tentu penuh risiko hingga ia pun kerap dibantu oleh orang-orang di sekitar untuk menunjukkan jalan.
Padahal, Aswar tak menggunakan tongkat biasa. Melainkan tongkat yang dilengkapi sensor suara.
BACA JUGA:Yuk Jalan Kaki! 8 Ribu Langkah Bisa Kurangi Risiko Kematian Dini
Ia mendapatkannya dari bantuan Dinas Sosial Kota Surabaya. Tetapi, tetap saja, tongkat bersensor itu belum terlalu efektif.
Menurutnya, suara yang ditimbulkan tongkat itu terlalu keras. Sehingga mengundang perhatian ketika berada di tempat yang agak sepi.
Selain itu, ukuran tongkat tersebut juga terlalu besar dan kurang simpel.
Aswar sebetulnya sudah memberi masukan dan saran ke dinsos. Yakni untuk mengganti sensor suara dengan getaran.
BACA JUGA:Pos Polisi dan Tiang Hambat Pejalan Kaki
Biar tidak mengganggu kenyamanan orang-orang di sekitar bila tongkat berbunyi.
“Tapi secara akurasi, tongkat tersebut sudah cukup akurat menunjukkan arah," katanya.
Kondisi guiding block yang tak layak itu tentu sangat krusial. Bahkan, menurut pendiri Komunitas Mata Hati Dian Ika Riani, tidak hanya bagi para penyandang tunanetra, melainkan juga untuk semua yang nondifabel.
"Contohnya, orang tua yang memakai kursi roda atau yang sedang pakai tongkat kruk,” ungkap perempuan yang karib disapa Eka itu kepada Harian Disway, Selasa, 17 Desember 2024.