Kata Edi, dahulu gedung Setan menjadi tempat berlindung bagi keturuanan Tionghoa. Adalah Teng Sioe Hie yang mengalihfungsikan tempat transit jenazah itu menjadi tempat pengungsian. Gedung Setan menjadi saksi bisu atas perjuangan dan persatuan warga Tionghoa kala itu.
Sore itu, beberapa penghuni terlihat hilir mudik memindahkan perabotannya. Ada yang dipindah ke rumah kerabat.
Pun penghuni yang menyewa indekos untuk memindahkan barang berharganya itu.
BACA JUGA:Kendaraan Dinas Mulai Hijrah ke Mobil Listrik, Pemkot Surabaya Pilih Skema Sewa Biar Lebih Hemat
BACA JUGA:DLH Jawa Barat Belajar Keberlanjutan Lingkungan di Kampung Oase Songo Surabaya
Pria berusia 48 tahun itu menceritakan, peristiwa atap gedung ambruk itu terjadi sekitar pukul 17.46 WIB pada Rabu, 18 Desember 2024.
Syukurnya, tak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Dahulu, kata Edi, perbaikan gedung pernah dilakukan dengan cara urunan.
Namun, meski katakanlah saat ini warga memiliki dana untuk merenovasi gedung, itu tidak mungkin dilakukan lagi.
Alasannya, gedung itu berimpitan dengan rumah-rumah warga sekitar. Jarak gedung dengan permukiman warga cukup rapat.
Warganya juga cukup padat. Ia khawatir terjadi gesekan dengan warga sekitar.
"Yang bisa menengahi ini cuma Pemkot Surabaya. Mereka harusnya mengayomi warganya," ujar Edi.
Anda sudah tahu, Gedung Setan dibangun oleh VOC Belanda pada 1809. Pada tahun 1945, gedung ini dibeli oleh dr. Teng Sioe Hie untuk bisnis transit jenazah. Saat Agresi Militer II di Surabaya sedang gila-gilanya.
Pada tahun 1948, gedung itu dititipkan kepada Handoko. Ayah dari Ketua Pengurus Gedung Setan Djijanto Soetikno.
Saat Harian Disway ke Gedung Setan itu, Tikno sedang berada di luar kota. Menurut Edi, Gedung Setan dahulu menjadi tempat persembunyian etnis Tionghoa saat terjadi agresi militer II.
"Penghuni campur aduk, tidur di barak bekas tentara VOC. Sejak saat itu, gedung ini dihuni sampai sekarang," kata Edi.
BACA JUGA:Surabaya Siap Hadapi PPN 12%, Insentif Sektor Properti hingga Mobil Listrik jadi Harapan!