Saya merasa paling tua di antara hampir 600 wisudawan dan wisudawati. Saya mengenakan toga di usia 61 tahun. Usia yang dipakai kebanyakan orang untuk menikmati masa pensiun.
Salah seorang wisudawan program doktoral dari FISIP yang bersama saya seorang ASN muda dari Pemkot Palembang, Dr M.G.S. Muhammad Farouq.
Saya menerima ijazah di panggung yang diberikan Dekan FISIP UB Prof Dr Anang Sujoko. Lalu, foto bersama rektor UB yang ganteng Prof Widodo PhD. Hampir semua mahasiswa foto bersama sang rektor. Dengan gaya bermacam-macam. Mulai yang serius sampai dengan yang cengengesan.
”Lho, ini dulur yang lama tak berjumpa,” celetuk Prof Dr Ir Buhfil Hanani Ar, ketua senat akademik. Ia yang duduk di kursi setelah rektor itu spontan berdiri dan langsung memeluk saya sambil cipika-cipiki.
Mantan rektor itu memang mengenal dekat saya. Tapi, tidak tahu bahwa saya mengambil program doktoral di kampusnya.
Yang pasti, belajar memang tak seharusnya mengenal batas usia. Termasuk belajar di bangku sekolah formal. Apalagi, bisa mendokumentasikan secara akademik apa yang sedang mereka tekuni atau ikut terlibat proses di dalamnya. Bisa menjadi sumbangan akademik sekaligus praksis.
Dokumentasi akademik yang mengantarkan saya diwisuda kemarin sudah dipublikasikan dalam bentuk buku. Yang terbit bersamaan dengan ujian terbuka beberapa waktu lalu. Judulnya Perubahan Paradigma dan Ekosistem BUMN Gula: Strategi Baru Menuju Swasembada. Buku hasil penelitian disertasi itu diterbitkan Kompas Penerbit Buku.
BUKU Perubahan Paradigma dan Ekosistem BUMN Gula: Strategi Baru Menuju Swasembada karya Arif Afandi.-istimewa-
Saya membayangkan, jika banyak profesional mau menjadikan apa yang dilakukan di korporasinya sebagai objek studi, pasti akan sangat bermakna bagi dunia akademik. Bisa menjadi jembatan antara dunia teori dan praktis. Memberikan frame akademik untuk berbagai aksi bisnis dan korporasi.
Apakah studi sosiologi ekonomi dalam melihat aksi korporasi di PTPN Group itu bermakna untuk masa depan kita? Bisa jadi demikian. Yang pasti, saya sekarang masih ikut mengawal perbaikan kinerja dari hasil aksi korporasi itu dari dalam. Sungguh tampak perbaikan kinerja yang memberikan harapan baru dari terciptanya swasembada gula.
Yang juga pasti, kini saya percaya bahwa setiap kegagalan adalah sukses yang tertunda. Saya pernah gagal ketika ingin menjadi mahasiswa S-1 di Universitas Brawijaya. Namun, ternyata berhasil menjadi doktor di kampus yang sama. Setelah sebelumnya menjadi mahasiswa UGM dan Unair, dua perguruan tinggi negeri yang menjadi dambaan banyak orang.
Jadi, jangan pernah berhenti mimpi dan berusaha terus menggapai! (*)