Menghidupkan Ilmuwan yang Kritis dan Berpihak

Senin 20-01-2025,08:37 WIB
Oleh: Umar Sholahudin & Abdus Sa’ir*

PERBINCANGAN tentang peran ilmuwan atau intelektual kembali menjadi topik yang ramai di ruang publik. Tidak sedikit anggota masyarakat yang mengkritisi, bahkan menggugat, tanggung jawab ilmuwan yang seharusnya tidak hanya terbatas pada tanggung jawab individu dalam bergelut dengan keilmuannya dan menghasilkan segudang karya ilmiah. Tetapi, juga meliputi tanggung jawab sosial. 

Dengan keilmuannya, seorang ilmuwan diharapkan hadir di tengah masyarakat untuk berinteraksi dan berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai problematika sosial dan ekonomi masyarakat. Hal itulah yang kembali diingatkan Prof Biyanto tentang pentingnya tanggung jawab seorang ilmuwan.

Penulis sangat sependapat bahwa tugas dan peran ilmuwan memiliki dimensi ganda, ibarat dua sisi mata uang. Sebagai individu yang terdidik dan aktif memproduksi ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan juga bertanggung jawab menggunakan ilmu pengetahuannya demi kemaslahatan manusia. 

BACA JUGA:Memahami Tanggung Jawab Ilmuwan

Menurut Prof Biyanto, ilmuwan atau intelektual tidak seharusnya hanya memproduksi ilmu pengetahuan untuk kepentingan eksistensinya sendiri. Mereka harus mampu memberikan kontribusi nyata yang bermanfaat bagi perubahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, Ulil Albab menekankan bahwa dalam memproduksi ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan atau intelektual tidak boleh melepaskan tanggung jawab etis dan moral. 

Produk ilmu pengetahuan harus berbasis pada nilai-nilai etik, moralitas, dan humanisme untuk memastikan bahwa ilmu tersebut tidak merusak kehidupan, tetapi membawa manfaat bagi kebaikan bersama, keberlanjutan, dan kelestarian lingkungan.

BACA JUGA:Tanggung Jawab Ilmuwan: Menyambung Keterputusan Antara Pengetahuan dan Kemanusiaan

Gagasan Prof Biyanto dan sejenisnya perlu terus disuarakan dan diviralkan. Hal itu menjadi pengingat bagi para ilmuwan atau intelektual agar mereka kembali kepada khitahnya, yakni sebagai ”intelektual organik,” meminjam istilah pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci. 

Dalam Prison Notebooks (1926), Gramsci menjelaskan bahwa intelektual organik adalah mereka yang lahir dari masyarakat, berpikir bersama masyarakat, mendidik nalar kritis kolektif, dan bergerak bersama untuk transformasi sosial menuju keadilan dan kemanusiaan. 

Menurut Gramsci, intelektual organik tidak harus berasal dari akademisi tradisional. Mereka bisa berasal dari mana saja selama perannya signifikan dalam membentuk opini yang menjadi kontra-hegemoni terhadap kemapanan, kebijakan, atau struktur sosial yang tidak adil.

BACA JUGA: Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto)

Intelektual organik hadir sebagai antitesis dari intelektual tradisional yang cenderung netral, eksklusif, dan tidak terlibat dalam persoalan masyarakat. Intelektual organik tidak tinggal dalam ”menara gading” yang terisolasi, tetapi berbaur dan berperan aktif di tengah masyarakat. 

Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa sebagian ilmuwan dan intelektual masih nyaman dengan dunia eksklusif keilmuannya. Tidak sedikit dari mereka yang terjebak dalam paradigma positivistik dan bahkan menggunakan ilmu pengetahuannya untuk melayani kekuasaan. 

Ilmuwan semacam itu kerap menjadikan kompetensinya sebagai ”alat stempel” atau pembenaran epistemologis bagi kekuasaan dan kebijakan yang lahir darinya, alih-alih menggunakannya untuk kemaslahatan umat.

Kategori :