Salah satu contohnya adalah lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto melalui keputusan kontroversial di Mahkamah Konstitusi, yang dipengaruhi oleh ”dramaturgi politik-hukum”. Terbukti, ada pelanggaran etika berdasarkan putusan Mejelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Setelah Gibran resmi menjadi cawapres, keterlibatan politik Jokowi justru makin nyata. Praktik cawe-cawe itu berujung pada berbagai kebijakan dan gestur politik yang dianggap menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran.
Film dokumenter Dirty Vote merekam dugaan kecurangan pemilu yang mengindikasikan rusaknya integritas demokrasi Indonesia.
Dinamika politik pasca-Pemilu 2024 kian mengkhawatirkan dengan munculnya sentralisasi kekuatan politik melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Kondisi itu membuka peluang bagi praktik politik kekuasaan bercorak legalisme-otokratik, yakni hukum digunakan untuk melanggengkan kepentingan elite dan oligarki.
Contohnya adalah pengesahan Undang-Undang KPK, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Pemilu. Semuanya minim partisipasi publik, tetapi sangat menguntungkan kepentingan penguasa.
Dalam praktik legalisme otokratik, hukum tidak hanya menjadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan, tetapi juga membungkam suara-suara kritis. Kritik publik kerap kali dianggap sebagai ancaman politik yang perlu dibungkam.
Rezim Jokowi dalam beberapa tahun terakhir tercatat menggunakan cara-cara itu untuk mempertahankan dan mengelola kekuasaan.
Ketika demokrasi, hukum, dan konstitusi diperalat untuk kepentingan kekuasaan, hanya sebagian kecil ilmuwan dan intelektual yang tetap kritis terhadap praktik-praktik tersebut. Sebagian besar lainnya justru bersikap permisif, bahkan turut melegitimasi kebijakan penguasa.
Namun, kelompok intelektual yang kritis terus berupaya membangun kesadaran kolektif dan memperjuangkan agenda perubahan demi mewujudkan sistem yang lebih berkeadilan dan menghormati kemanusiaan.
INTELEKTUAL/ILMUWAN KRITIS DAN BERPIHAK
Saya sependapat dengan dua penulis di atas. Tetapi, dalam tulisan ini, saya ingin mengelaborasi dalam perspektif teori sosial kritis.
Kita membutuhkan ilmuwan dan intelektual yang tidak hanya membangun kesadaran kritis masyarakat, tetapi juga memiliki misi emansipatoris untuk memperjuangkan tatanan demokrasi dan hukum yang berkeadilan dan berkemanusiaan.
Sayang,nya di Indonesia banyak intelektual kita yang masih bersikap permisif, bahkan mendukung dan melegitimasi kebijakan yang dibuat penguasa. Padahal, kebijakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Hanya segelintir intelektual yang masih memiliki keberanian untuk bersikap kritis terhadap praktik-praktik semacam itu.
Di tengah isu-isu sosial politik Indonesia saat ini, seperti pelemahan lembaga antikorupsi, eksploitasi sumber daya alam oleh oligarki, ketidakadilan dalam sistem hukum, serta polarisasi politik berbasis identitas, menunjukkan betapa mendesaknya peran ilmuwan dan intelektual kritis.
Mereka harus berani melawan arus, membongkar realitas yang tidak adil, dan menawarkan solusi alternatif yang berakar pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.