Langkah Menjadi Manusia yang Layak

Jumat 07-02-2025,16:15 WIB
Oleh: Dhimas Anugrah*

Meski demikian, manusia tetap memiliki tanggung jawab penuh atas tindakan dosa yang dilakukannya. Maka, transformasi moral melalui rahmat Tuhan dan usaha terus-menerus melawan keinginan berdosa dipandang sebagai jalan untuk memulihkan hubungan manusia dengan Tuhan dan tatanan moral yang rusak.

Dari uraian tersebut, akar perbuatan jahat menunjukkan bahwa kejahatan tidak memiliki satu sebab tunggal, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara faktor internal dan eksternal. Berbagai pandangan menawarkan penjelasan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu merespons dan menundukkan dorongan jahat melalui kesadaran etis. 

Jika naluri egois, tekanan sosial, atau gangguan psikologis dapat mendorong seseorang pada kejahatan, maka tanggung jawab moral menuntut adanya kesadaran yang terjaga untuk mengatasi semua itu. Di sini, pendidikan moral menjadi esensial, karena tanpa kesadaran akan tanggung jawab pribadi, seseorang mudah terjebak dalam pola pikir yang memisahkan tindakan dari nilai-nilai.

Dengan demikian, manusia tidak hanya perlu mengenali sumber kejahatan dalam dirinya, tetapi juga memperjuangkan kehidupan beretika yang selaras dengan prinsip kebaikan bersama.

Mengalahkan “Aku” sebagai Langkah Awal

Langkah pertama dalam berhenti berbuat jahat, setidaknya yang dapat saya pikirkan, adalah menyadari bahwa dalam diri kita ada "aku" yang cenderung berbuat jahat, apa pun penyebabnya—baik naluri egois, pengaruh lingkungan, maupun dorongan impulsif.

Kesadaran akan "aku" ini sangat penting, karena tanpa pengakuan terhadap kelemahan diri, seseorang akan mudah menyangkal tanggung jawab moralnya, menyalahkan pihak lain, dan mencari pembenaran atas perilaku buruk. 

Setelah menyadari keberadaan "aku" tersebut, langkah berikutnya adalah mengenali situasi atau pemicu ("precipitating factor") yang membuat dorongan itu muncul, seperti rasa marah, iri, atau tekanan sosial.

Dengan identifikasi pemicu, seseorang dapat mulai melatih strategi pengendalian diri dan menghindari kondisi yang memperburuk kelemahan moralnya. Refleksi dan pembiasaan evaluasi diri menjadi kunci penting dalam menundukkan "aku" tersebut, sehingga manusia mampu bertindak secara lebih sadar dan beretika dalam setiap situasi.

BACA JUGA:Aspek Dilematis Pemangkasan Anggaran

BACA JUGA:Menyoal Pemburu Rente dan Aransemen Kelembagaan MBG

Kedua, melatih diri tidak berbuat jahat. Semua kesadaran dan pengetahuan tentang perbuatan jahat akan sia-sia tanpa disiplin melatih diri menolak godaan melakukan kejahatan. Menidak perbuatan jahat memerlukan komitmen yang berulang-ulang, mulai dari tindakan kecil sehari-hari hingga menghadapi situasi yang lebih kompleks, sehingga pengendalian diri menjadi kebiasaan yang melekat.

Sebagaimana Aristoteles dalam "Nicomachean Ethics" menyatakan, "We become just by doing just actions, temperate by doing temperate actions, brave by doing brave actions," ia menegaskan bahwa kebajikan terbentuk melalui latihan dan tindakan yang berulang.

Dengan melatih diri menidak perbuatan jahat secara berkesinambungan, manusia membentuk kemampuan bertindak secara etis, bahkan dalam situasi yang sulit, sehingga menciptakan kehidupan yang harmonis-bermartabat bagi diri sendiri dan masyarakat.

Kesadaran akan "aku" yang perlu diatasi dan melatih diri tidak berbuat jahat adalah dua hal yang sederhana dalam konsep, tetapi begitu menantang diamalkan dalam kenyataan. Hal ini karena manusia tidak hanya berhadapan dengan dorongan dari dalam dirinya sendiri, tetapi juga dengan norma sosial, ekspektasi, dan godaan yang menguatkan egonya.

Sebagaimana Sartre dalam Being and Nothingness (1943) menegaskan, manusia adalah makhluk bebas yang terjebak dalam dilema eksistensial—di mana ia selalu dihadapkan pada pilihan menjadi autentik atau tunduk pada ilusi yang diciptakan oleh "diri sosial." 

Demi mencapai keaslian moral, manusia perlu senantiasa meninjau niat dan tindakannya, agar tidak terjebak dalam rutinitas keburukan yang tak disadari. Latihan moral, karena itu, perlu dipahami bukan sebagai beban kewajiban eksternal, melainkan sebagai perjalanan membentuk diri yang utuh dan merdeka dalam memilih jalan kebaikan. Dalam perjalanan ini, manusia akan menyadari bahwa disiplin menolak dorongan jahat adalah pintu menuju pencerahan batin dan keseimbangan hidup bersama. 

Kategori :