Kini, rapat, seminar, hingga kegiatan seremonial dialihkan ke fasilitas milik pemerintah.
”Sekarang saja, acara yang sebelumnya digelar di hotel pindah ke kantor milik pemerintah. Ini akan terasa,” jelas Dwi.
Kalau kegiatan pemerintah di-cancel setahun penuh, imbuhnya, pendapatan hotel bisa berkurang 30-50 persen setiap bulan.
Menurutnya, tantangannya kini semakin berat. Terutama karena daya beli masyarakat terus melemah. PHRI khawatir kebijakan itu terus memengaruhi konsumsi rumah tangga.
BACA JUGA:Prabowo Pamer Efisiensi Anggaran Rp 327 T di Forum Pimpinan Dunia
Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini berkontribusi 54 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.
Data PHRI Jatim mencatat, ada sekitar 800 hotel di Jawa Timur yang waswas dengan kebijakan tersebut. Bahkan, sebagian hotel belum mencapai break-even point (BEP) harian atau balik modal.
Meski memahami kebijakan efisiensi punya tujuan baik, Dwi berharap pemerintah tetap memprioritaskan acara yang mendukung sektor padat karya seperti pariwisata.
BACA JUGA:Sri Mulyani Tegaskan Beasiswa KIP dan UKT Tidak Terdampak Efisiensi Anggaran
”Kalau harganya sama antara ngadain event di fasilitas pemerintah dengan hotel, kenapa tidak tetap di hotel? Ini untuk menjaga kontinuitas. Industri hotel itu tergolong padat modal dan padat karya. Modal besar, tenaga kerja banyak. Biar sama-sama hidup,” ujarnya.
Ia setuju dengan kebijakan efisiensi anggaran. Selama memang untuk hal prioritas. Namun, event pariwisata di hotel harus masuk skala prioritas.
Jangan sampai study tour dipangkas, tapi acara penting yang melibatkan hotel justru dihilangkan.
BACA JUGA:Kemenag Efisiensi Anggaran, Dipotong Rp12 Triliun, Pertahankan Gaji Pegawai dan Beasiswa
Dwi mengakui, meski belum ada laporan pemutusan hubungan kerja (PHK), nasib ribuan pekerja hotel mulai terancam.
”Kalau okupansi turun terus, kami mungkin harus merumahkan karyawan seperti saat pandemi Covid-19 dulu. Sistem shift atau tidak memperpanjang kontrak pekerja harian,” katanya.