Munculnya aktivitas UE yang melibatkan manipulasi data atau laporan keuangan yang sulit dideteksi dapat dipicu beberapa faktor.
Pertama, regulasi yang sangat birokratis dan tidak pro wajib pajak (WP). Regulasi yang kompleks dan berbelit-belit dapat menjadi hambatan bagi para pelaku usaha formal.
Ketika mereka menghadapi kesulitan dalam mematuhi semua persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan pemerintah, timbul kecenderungan memilih alternatif cara lain untuk mencari jalan pintas dengan melakukan aktivitas ilegal atau beroperasi di sektor bawah permukaan.
Kedua, beban pajak yang tinggi. Tingginya beban pajak yang harus dibayar pelaku usaha formal dapat mendorong mereka untuk mencari cara lain menghindari pembayaran pajak.
Hal itu terjadi karena para pelaku usaha selaku WP merasa bahwa beban pembayaran pajak yang tinggi tidak sebanding dengan manfaat yang mereka terima dari pemerintah (tax redistribution).
Ketiga, tingkat pengangguran yang tinggi pada sektor formal. Tingginya angka pengangguran di sektor formal dapat mendorong seseorang memilih untuk terjun ke aktivitas UE.
Ketika kesempatan kerja yang layak sulit didapatkan, seseorang mungkin cenderung mencari kesempatan di sektor informal atau ilegal untuk mencari sumber-sumber pendapatan seperti menjadi bandar narkoba, judi online, dan pinjol ilegal.
Keempat, persepsi yang bersifat apriori masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola perekonomian dapat mengurangi motivasi mereka untuk patuh pada regulasi dan kewajiban perpajakan.
Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak mengelola ekonomi dengan baik atau korupsi merajalela, mereka mungkin cenderung mengabaikan aturan-aturan dan mencari cara untuk menghindari keterlibatan formal.
Kelima, tingkat korupsi yang tinggi. Tingkat korupsi yang tinggi juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan UE. Korupsi menciptakan lingkungan di mana bisnis tidak dapat beroperasi dengan fair, adil, dan terbuka.
Pelaku usaha yang tidak ingin terlibat dalam praktik korupsi cenderung memilih untuk beroperasi di sektor bawah permukaan agar dapat menghindari tuntutan dan pungutan korupsi yang merugikan.
Keenam, rendahnya efek jera hukuman kepada para pelaku kejahatan ekonomi (misalnya, koruptor dan pengemplang pajak). Faktor tersebut mendorong pelaku ekonomi yang taat dan jujur cenderung apatis dan ikut-ikutan melakukan praktik-praktik bisnis menyimpang.
Namun, di sisi lain, dengan melihat potensi ekonomi UE yang demikian besar, akan menimbulkan pertanyaan, mungkinkah pemerintah benar-benar akan menggali penerimaan pajak dari UE?
Jika benar, tindakan pemerintah akan ditafsirkan sebagai upaya melegalkan aktivitas yang ilegal. Mengenakan pajak pada aktivitas ilegal jelas melanggar jika ditinjau dari aspek moral dan agama. Memungut pajak dari perjudian, misalnya, dapat mengesankan bahwa pemerintah ”membenarkan” aktivitas ilegal tersebut.
Meski terdapat potensi besar, penerapan pajak pada underground economy menghadapi tantangan besar. Dari aspek yuridis, hal tersebut tentu dapat menimbulkan gesekan dengan aparat hukum yang bertugas memberantas kejahatan.
Banyak aktivitas ekonomi UE yang melibatkan aktivitas manipulasi data atau laporan keuangan yang sulit dideteksi. Misalnya, pada sektor kelapa sawit, praktik transfer pricing dan manipulasi luas lahan masih umum terjadi.