BACA JUGA:7 Rekomendasi Gunung yang Cocok untuk Pendaki Pemula di Jawa Timur
BACA JUGA:Hilang Di Gunung Wilis, Pendaki Asal Cengkareng Hingga Kini Belum Ditemukan
Salah satu kemungkinan mengapa dalam ekspedisi di Cartenz ada kendala adalah gunung itu jarang didaki sehingga porter dan guide mungkin memiliki jam terbang yang terbatas di medan itu.
Namun, dalam kasus pendaki yang meninggal dunia gegara hipotermia, tidak serta-merta guide atau porter bisa disalahkan. Hipotermia bisa terjadi karena berbagai faktor yang berhubungan dengan persiapan pendaki sendiri.
Urutan yang harus diperhatikan dalam ekspedisi mencakup bagaimana persiapan dilakukan, apakah tim sudah mengenal medan dengan baik, berapa lama aklimatisasi dilakukan di lokasi, bagaimana kondisi fisik pendaki sebelum memulai pendakian, serta apakah perlengkapan yang digunakan sudah sesuai dengan kondisi ekstrem.
BACA JUGA:Kronologi Meninggalnya Pendaki asal Surabaya di Carstensz Pyramid Papua
BACA JUGA:Pendaki Carstensz Pyramid asal Surabaya Meninggal dalam Badai Salju
Jika dalam satu ekspedisi ada banyak tim yang selamat, pasti ada penyebab yang membedakan kondisi tim yang mengalami masalah. Bisa jadi mereka terpisah dari rombongan utama, ada yang turun lebih dahulu, atau memang kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian.
Dalam ekspedisi yang memiliki standar keselamatan tinggi, harus ada team leader yang mengatur jalannya perjalanan. Team leader bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan terkait kapan harus terus mendaki, kapan harus berhenti, serta bagaimana strategi keselamatan diterapkan di sepanjang perjalanan.
RISIKO HIPOTERMIA
Salah satu risiko terbesar dalam ekspedisi adalah hipotermia (hipo) yang sering kali terjadi akibat cuaca buruk. Kematian karena hipotermia sangat masuk akal, terutama jika persiapan tidak memadai.
Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun di bawah 35 derajat Celsius, mengakibatkan gangguan fungsi organ dan bisa berakibat fatal.
Penyebabnya, antara lain, paparan cuaca dingin tanpa perlindungan yang cukup, terendam dalam air dingin, kehilangan panas tubuh berlebihan akibat pakaian basah, serta kondisi medis seperti gangguan tiroid, diabetes, atau efek alkohol dan obat-obatan.
Namun, di Cartenz, seharusnya serangan hipo tidak terlalu parah karena ketinggiannya tidak mencapai 5.000 mdpl. Tekanan udara dan ketinggian sangat berpengaruh terhadap tingkat keparahan serangan hipotermia.
Pada ketinggian di bawah 5.000 mdpl, dampaknya biasanya lebih ringan bila dibandingkan dengan ekspedisi di ketinggian 7.000–8.000 mdpl. Faktor aklimatisasi yang kurang juga bisa menjadi penyebab meningkatnya risiko hipotermia.
Hipotermia bisa diatasi jika pada ketinggian sekitar 4.500 mdpl tersedia peralatan termal yang memadai. Dalam banyak kasus, pendaki yang tewas lebih disebabkan kondisi fisik yang menurun drastis sehingga lebih rentan terkena hipotermia.