Refleksi Hari Perempuan Internasional: Dari Latar ke Layar

Sabtu 08-03-2025,05:33 WIB
Oleh: Aniendya Christianna*

Namun, lagi-lagi, data dari Museum Nasional Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen koleksi seni rupa yang dipamerkan berasal dari seniman laki-laki, memperlihatkan bias struktural yang masih kuat. 

Sama halnya dengan historiografi seni Indonesia yang dimulai dari Raden Saleh hingga S. Sudjojono, seolah-olah tidak ada tokoh perempuan yang layak dimasukkan ke narasi utama perkembangan seni di Indonesia.

Adapun, popularitas seniman perempuan sering kali dibayang-bayangi oleh figur laki-laki, entah sebagai ayah, suami, atau mentor. Kartika Affandi, misalnya, seorang pelukis berbakat yang dikenal dengan karya ekspresifnya, tetap lebih sering dikenal sebagai ”anak Affandi” daripada seniman dengan identitasnya sendiri. 

Hal yang sama terjadi pada Mangku Muriati, seniman Bali yang karya-karyanya menggambarkan ritual dan spiritualitas dalam perspektif perempuan. Meski dia berhasil mengembangkan gaya khasnya sendiri dalam seni Kamasan, posisinya sebagai seniman tak lepas dari pengaruh dan warisan ayahnya, Mangku Mura, seorang maestro seni tradisional Bali. 

Nama besar sang ayah sering kali membayangi identitasnya, sebagaimana yang terjadi pada banyak seniman perempuan lainnya.

Hal serupa dialami Kustiyah, seorang pelukis dengan karakter visual yang khas, yang juga merupakan istri pematung legendaris Indonesia, Edhi Sunarso. Meski Kustiyah memiliki gaya yang unik dan eksplorasi warna yang khas dalam karyanya, namanya tidak pernah benar-benar berdiri sendiri –dia lebih sering disebut sebagai ”istri Edhi Sunarso”. 

Di tengah dominasi seni patung yang menjadikan suaminya terkenal dengan karya-karya monumental seperti Monumen Selamat Datang dan Monumen Dirgantara, eksistensi Kustiyah sebagai pelukis seakan terpinggirkan. 

Nama besar suaminya sebagai pematung nasional seolah menutupi ruang apresiasi terhadap karyanya sendiri, sebuah pola yang sering dialami perempuan seniman dalam dunia seni rupa Indonesia. Bahwa perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi yang subordinat, alih-alih diakui sebagai individu yang memiliki pencapaian artistik tersendiri. 

Keterlibatan mereka dalam seni tetap dibingkai dalam relasi domestik.

Bias gender dalam seni juga diperkuat anggapan lama seperti kelakar Basoeki Abdullah, bahwa ”perempuan lebih cocok menjadi objek lukisan daripada menjadi pelukisnya”. 

Pernyataan itu mencerminkan bagaimana perempuan dalam dunia seni sering kali dikonstruksikan sebagai sesuatu yang ”dilihat” dan ”diabadikan”, bukan sebagai kreator utama. 

Perempuan dianggap lebih pas menjadi inspirasi daripada pencipta karya seni itu sendiri. Akibatnya, meski banyak perempuan telah berkontribusi dalam perkembangan seni, posisi mereka dalam historiografi seni tetap berada dalam bayang-bayang laki-laki.

Jika kesenian kontemporer masih menyisakan ruang (terbatas) bagi perempuan, situasi berbeda terjadi dalam kesenian tradisional, yang sering kali didefinisi sebagai ”kerajinan” (bukan seni tinggi). 

Seperti pada batik dan tenun. Kain tenun Sumba, ulos Sumatera Utara, atau batik Pekalongan dan Lasem merupakan warisan budaya yang sebagian besar dibuat perempuan. Meski demikian, perajin-perajin itu tidak dikenal namanya, seolah hanya menjadi latar dalam sejarah seni tekstil Indonesia. 

Sejarah batik yang panjang sejak masa lalu hingga saat ini menjadi salah satu warisan dunia, hanya merekam nama-nama perajin itu di balik tembok-tembok bengkel tempat mereka berkarya. Seolah hanya menjadi latar dalam sejarah seni budaya Indonesia.

DARI LATAR KE LAYAR

Kategori :