Masyarakat cenderung memandang pembunuh sebagai orang benar-benar jahat atau orang sangat rusak sehingga mereka tidak mungkin bisa hidup di antara kita.
Namun, sebagian besar pembunuh dulunya adalah anak-anak yang trauma dan tidak diobati, yang kelak ia bakal mengendalikan tindakan orang dewasa yang dulu ketika ia kanak-kanak, menakutkan baginya.
Trauma itu mendasar. Masyarakat tidak melihat bagian tersebut. Mereka melihat hasil trauma (setelah orang jadi pembunuh) daripada asal muasal pembunuhan dalam trauma.
Masa kecil pembunuh disebut riwayat sosial, yang merupakan ringkasan biografi atau penilaian dan diagnosis klinis.
Ilmu Garbarino itu dipadu dengan pengalamannya ketika jalan-jalan ke negara-negara daerah konflik:
Garbarino: ”Waktu itu saya pergi ke negeri zona perang resmi: Timur Tengah, Amerika Tengah, dan Afrika. Ternyata anak-anak di sana secara alami mengadopsi cara pandang terhadap dunia, sesuai dengan zona perang.”
Dilanjut: ”Ketika saya kembali ke Amerika Serikat, saya dikejutkan oleh kesamaan dengan anak-anak yang di negara-negara perang. Mengapa? Sebab, mereka tumbuh di daerah dengan tingkat kekerasan tinggi. Banyak geng, ancaman kronis, dan stres.”
Kesimpulannya, anak yang tumbuh di daerah rawan kekerasan sama dengan anak-anak di negara zona perang. Mereka harus selalu waspada. Melegitimasi agresi: Bahwa ketika Anda diancam, Anda berhak secara moral membela diri. Itulah mental zona perang.
Di kasus Yana, media massa belum mengungkap (dan biasanya tidak) latar belakang hidupnya. Masyarakat kini cuma tahu, Yana si penjagal ayam. Yang jadi jagal pacar. (*)