Alih-alih melihat keduanya sebagai dikotomi yang berlawanan, mungkin lebih produktif untuk mempertimbangkan bagaimana keduanya dapat saling melengkapi dalam membentuk masyarakat yang sejahtera dan bermakna.
Apakah mungkin bahwa dalam kegemilangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, manusia justru makin kehilangan sesuatu yang paling mendasar: rasa terhubung? Terhubung, bukan hanya antarindividu dalam relasi sosial, melainkan pada sesuatu yang lebih tinggi, lebih dalam, lebih abadi.
Kita hidup dalam peradaban yang setiap detiknya memproduksi kenyamanan dan efisiensi, tetapi justru makin haus akan makna dan tujuan. Kita bisa mengukur jarak antargalaksi, tetapi belum tentu mengerti jarak antara hati dan kebahagiaan.
Karl Jaspers menyebutkan bahwa manusia adalah das umgreifende, ’makhluk yang terus berada dalam pencarian terhadap yang melampaui dirinya’.
Maka, ketika dunia seolah-olah telah ”mencapai segalanya”, bukan tak mungkin manusia justru mulai menyadari bahwa yang selama ini mereka kejar hanyalah fragmen dari sebuah realitas yang lebih utuh.
Di titik itulah spiritualitas dalam segala bentuknya –agama, meditasi, pencarian makna– muncul kembali sebagai respons terhadap kekosongan eksistensial yang tak bisa dipenuhi akumulasi materi.
Pertanyaannya bukan lagi apakah religiusitas bertolak belakang dengan kemajuan, melainkan apakah kita –sebagai manusia– telah mampu mendefinisikan ulang ”kemajuan” itu sendiri.
Apakah kemajuan berarti dominasi atas alam atau justru kemampuan untuk hidup selaras dengannya? Apakah negara yang maju adalah negara yang seluruh rakyatnya makmur ataukah negara yang mampu menciptakan warga yang tak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga dalam kesadaran batin?
Dalam lanskap dunia yang kian plural dan saling terhubung, mungkin sudah waktunya untuk menggeser cara kita memandang hubungan antara ilmu, iman, dan kemajuan.
Alih-alih saling meniadakan, ketiganya bisa menjadi pilar bagi masyarakat yang tidak hanya rasional, tetapi juga welas asih; tidak hanya produktif, tetapi juga bijak; tidak hanya bertumbuh, tetapi juga berakar.
Maka, dari semua ini, barangkali kita perlu bertanya ulang: apakah dunia yang kita bangun hari ini adalah dunia yang benar-benar kita inginkan untuk dihuni esok hari? Ataukah kita sedang membangun istana yang indah tetapi tanpa fondasi jiwa?
Di tengah gegap gempita peradaban, mungkinkah yang paling dibutuhkan manusia modern justru adalah hening –hening untuk mendengar kembali suara yang selama ini tenggelam: suara dari dalam diri, dan suara dari Yang Maha Dalam. (*)
*) Fileski Walidha Tanjung adalah pendidik, penulis, penyair yang tinggal di Madiun