BACA JUGA: Denny JA: Puisi Esai Jadi Terobosan Diplomasi Lewat Sastra
Ketika perhatian terhadap sains dan teknologi semakin mendominasi —sebab sejalan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional— pelajaran sastra dan aktivitas literasi justru semakin terpinggirkan.
Dalam kondisi tersebut memperjuangkan ruang bagi sastra di tengah ekosistem pendidikan yang semakin pragmatis menjadi pekerjaan yang tidak mudah.
Di tengah dinamika kebijakan pendidikan dan desakan kebutuhan ekonomi yang kian mendesak, kegiatan Peta Sastra Kebangsaan yang kembali saya dan Ayu Utami helat di SMA Asisi Jakarta pada Maret 2025 terasa seperti upaya kecil untuk tetap merawat sisi batiniah dari pendidikan —sebuah ruang yang memberi tempat bagi empati, imajinasi, dan kemanusiaan.
Sastra, yang mungkin tidak selalu tampak mendesak, justru semakin terasa penting untuk dipelihara.
Ya, meski sama dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan kali ini terasa jauh lebih menantang. Tekanan yang saya hadapi bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan pergeseran orientasi pendidikan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Peta Sastra Kebangsaan yang saya maksudkan di atas adalah metode membaca pemikiran bangsa melalui sastra dengan menggunakan 11+1 kata kunci (baca: Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak, 2024).
BACA JUGA: Profil Eka Kurniawan: Penulis yang Membawa Sastra Indonesia Mendunia
Dinamika dalam Dunia Pengajaran Sastra
Mengajarkan sastra di tengah tekanan akademik bukan hal mudah. Bagi sebagian guru, ruang berkreasi justru jadi kemewahan, bukan standar.-Stebby Julionatan-
Pada tahun ini, setelah saya mengalami sendiri perbedaan mengajarkan hal yang sama, yaitu sastra, di SMA dan di perguruan tinggi, saya semakin memahami kegelisahan para guru (baca: guru Bahasa dan Sastra Indonesia).
Salah seorang guru asal Banten, Apip Kurniadin, yang pernah mengikuti pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara pada 2024 pernah menyampaikan pada saya bahwa kurikulum saat ini menempatkan mereka dalam dilema, yakni antara memenuhi tuntutan akademik atau mengajarkan sastra sebagai bagian dari ideologi mereka (baca: identitas bangsa).
Dari apa yang Apip utarakan, saya berefleksi bahwa sebenarnya keberhasilan saya membawa sastra ke ruang kelas di SMA Asisi Jakarta adalah bentuk privilege. Ya, di tempat tersebut, saya diberi izin oleh kepala sekolah di tempat saya mengajar untuk melakukan inovasi dalam kurikulum.
Kepala sekolah saya pun tidak membatasi atau menyensor materi-materi yang saya berikan kepada siswa, pun demikian dengan tanggapan dari para orang tua wali murid selama ini.
Kepala SMA Asisi Jakarta, Heru Malyono, dan beberapa wali murid yang saya kenal justru senang ketika anak mereka diperkenalkan terhadap sastra dan memberi saya ruang yang lebih luas untuk berkreasi.