Ayu Utami berdialog hangat dengan siswa, membedah pemikiran bangsa lewat kata kunci sastra. Metode 11+1 jadi cara baru memahami Indonesia.-Stebby Julionatan-
Dengan tiga persoalan yang telah saya paparkan sebelumnya—kurangnya dukungan struktural, ketimpangan akses terhadap literatur, dan meredupnya minat baca akibat perubahan kurikulum—muncul pertanyaan mendasar: bagaimana kita bisa terus merawat pendidikan sastra di tengah kondisi seperti ini?
Ayu Utami, dalam pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara, pernah menawarkan pendekatan “11+1 Kata Kunci” sebagai metode terbuka yang bisa disesuaikan dengan konteks. Pendekatan ini tidak kaku, dan justru memberi ruang bagi pengajar untuk beradaptasi.
BACA JUGA: Literasi Digital, Solusi Cerdas untuk Menghadapi Hoaks dan Disinformasi
Tahun ini, dalam pelaksanaan proyek Peta Sastra Kebangsaan yang saya lakukan di SMA Asisi Jakarta (Maret–Mei 2025), saya mencoba menggunakan hanya tiga kata kunci utama.
Waktu yang terbatas bukan alasan untuk menyerah. Dari pengalaman saya mengajar di berbagai tempat—baik di SMA maupun perguruan tinggi—saya belajar bahwa keberanian untuk mengadaptasi dan memodifikasi metode sangat penting untuk menjaga agar nyala sastra tidak padam.
Saya percaya, pengajaran sastra tidak bisa menunggu kondisi ideal. Ketika akses terbatas, ketika kebijakan berubah dengan cepat, bahkan ketika buku-buku disensor atau tak tersedia, kita tetap bisa membangun ruang dialog yang hidup lewat sastra.
BACA JUGA: Perpustakaan Lokalisier Dibuka, Sualoka Hub Jadi Destinasi Baru Literasi dan Kreativitas di Gresik
Kreativitas, keteguhan hati, dan dukungan komunitas menjadi modal utama. Di SMA Asisi, saya bersyukur memiliki kepala sekolah dan wali murid yang mendukung. Tapi saya sadar, banyak rekan saya di daerah lain yang harus berjuang sendirian.
Justru karena itu, saya merasa semakin yakin bahwa sastra harus terus diajarkan. Apalagi, sehari setelah pembukaan proyek Peta Sastra Kebangsaan tahun ini, DPR mengetuk palu untuk mengesahkan UU TNI yang telah direvisi.
Sebagai pengajar, saya bertanya dalam hati—apakah ini bukan bentuk ancaman bagi kebebasan berpikir dan berekspresi? Apakah kita akan kembali pada masa ketika suara kritis dibungkam secara sistematis?
BACA JUGA: Orang Tua Wajib Tanamkan pada Anak Pentingnya Literasi sejak Dini, Bagaimana Caranya?
Di tengah ketidakpastian arah bangsa, saya melihat sastra bukan hanya sebagai bahan ajar, tetapi juga sebagai ruang perlawanan kultural.
Ya, Peta Sastra Kebangsaan yang semula diperkenalkan oleh Ayu Utami, bagi saya bukan sekadar proyek literasi tahunan, tetapi sebuah upaya mempertahankan ruang kebebasan di sekolah, di benak para siswa, dan di tengah arus besar yang mengikis nilai-nilai humaniora.
Sastra bukan untuk sekadar dibaca—ia untuk direnungkan, diperdebatkan, dan dijadikan alat untuk memahami dunia yang rumit ini. Jika kita masih percaya pada masa depan yang berpihak pada kebebasan berpikir dan kepekaan nurani, maka merawat pendidikan sastra bukanlah pilihan, tetapi kewajiban. (*)
*) Stebby Julionatan adalah pendidik dan pengajar sastra yang berasal dari Probolinggo-Jawa Timur.