Namun, tentu saya memahami bahwa kondisi sebagaimana yang saya sampaikan di atas, tidak dialami oleh semua sekolah.
BACA JUGA: Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak (2): Metode 11+1 ala Ayu Utami
Dari kegiatan sosialisasi Peta Sastra Kebangsaan yang dihelat Salihara dan diperuntukkan pada guru pada 2024 lalu, saya pun mendengar cerita bahwa beberapa rekan guru dilarang mengajarkan novel-novel tertentu atau dipaksa mengikuti kurikulum secara kaku.
Misalnya, sekolah mereka menyensor secara mandiri novel Eka Kurniawan dan Ayu Utami. Mereka takut membahas karya yang dianggap sensitif.
Mereka “takut” memperkenalkan Cantik Itu Luka atau Saman kepada siswa karena reaksi orang tua wali murid yang jauh berbeda dengan yang saya dapatkan. Ya, saya menyadari, di banyak tempat, sastra masih harus berhadapan dengan sensor dan batasan yang ketat.
BACA JUGA: Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak (1): Meracuni Bacaan, Mengusir yang Dulce
Kondisi Ekonomi dan Literasi di Sekolah
Antusiasme siswa memenuhi aula SMA Asisi Jakarta dalam proyek Peta Sastra Kebangsaan. Di tengah tekanan industri, sastra tetap mendapat tempat.-Stebby Julionatan-
Dari perjumpaan saya dengan dua belas rekan guru dari berbagai penjuru Indonesia pada 27-28 April 2024, saya semakin sadar bahwa salah satu tantangan terbesar dalam merawat pendidikan sastra di sekolah adalah faktor ekonomi.
Saya merasa beruntung karena SMA Asisi Jakarta, tempat saya mengajar, berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Asisi yang memiliki dukungan cukup memadai —termasuk akses berlangganan ke platform buku digital seperti Gramedia Digital.
Namun, saya juga tahu bahwa kemewahan seperti ini bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh semua sekolah.
BACA JUGA: Jajal Dunia Profesional, Departemen Bahasa dan Sastra Inggris Lepas Ratusan Mahasiswa Magang
Dalam pertemuan dengan perwakilan 12 guru sastra dari seluruh Indonesia tersebut, muncul berbagai kisah yang mencerminkan kesenjangan ini. Banyak guru, terutama yang mengajar di luar Jawa, menghadapi kondisi yang jauh lebih menantang.
Giyai Rika, seorang guru dari Papua, misalnya, mengaku kesulitan mengakses buku-buku sastra, baik dalam bentuk cetak maupun digital.
Bukan hanya buku sastra nasional, tetapi juga karya-karya lokal yang bisa merepresentasikan pengalaman dan isu khas daerah mereka pun nyaris tidak tersedia.
BACA JUGA: Kindle, Ringan dan Praktis, Sahabat Baru Pecinta Buku
Situasi ini tentu memperparah absennya pendekatan literasi yang berbasis lokalitas. Ketika membicarakan sastra sebagai cermin kehidupan dan identitas kultural, bagaimana mungkin siswa diajak memahami ketimpangan sosial di sekitarnya jika tidak ada karya yang menarasikannya?